Lumpur Lapindo

Rabu, 31 Desember 2008

Tiga Kutub Senja’ Yang Tak Berkutub

Energik! Itulah ungkapan yang tepat saat ini untuk komunitas sastrawan Banjarbaru, baik yang terhimpun dalam "Kilang Sastra Batu Karaha" maupun yang aktif secara individual. Bukan tidak mungkin, sentral tulis-menulis puisi sekarang berpusat di Banjarbaru, setidaknya ini dilihat dari keaktifan penyair-penyairnya mereaktualisasikan genre puisi dalam beberapa antologi yang dalam lima tahun terakhir cukup banyak ditampilkan. Salah satu di antara antalogi tersebut adalah, "Tiga Kutub Senja’ yang memuat puisi-puisi tiga penyair senior; Eza Thaberi Husano, Hamami Adaby, dan Arsyad Indradi. Tiga sosok ini boleh diacungi jempol, sebab cukup getol menggeluti dunia puisi.
Semula kita memang diantar untuk menyelam ke dalam lanskap "kutub senja" dari tiga penyair ini. Tapi rupanya tidak demikian. Kita belum mendapatkan lanskap senja itu kecuali beberapa untaian puisi yang ditulis oleh Arsyad Indradi. Yang kita temui justru aneka refleksi penyairnya yang menganggap diri usia menjelang senja.
Aneka obsesi menyeruak dalam antalogi ini, namun sayang antologi terkesan tidak membuhul dalam tematik senja sebagaimana diutarakan dalam pengantar penerbit. Masih terdapat pula karya-karya lama yang dimuat dalam kumpulan ini. Meski begitu, kita agak sedikit terobati oleh pemakluman imaji penyair yang melanglang buana dari pengusungan tema-tema yang variatif.
Eza Thaberi Husano mungkin lebih kuat dalam perlambangan dan simbol-simbol kehidupan yang merintih. Puisi-puisinya punya maksud serius tentang eskpresi kegelisahan atas kondisi alam, zaman, dan keterpurukan manusia. Lihatlah misalnya dalam "Urbanisasi Anak-anak Puisiku", ungkapan-ungkapan bumi sakit terkapar, sakit tak ada awal tak ada akhir, seperti khotbah takdir kepada penyair, anak-anak puisiku: hidup itu melayuh duri.
Berbeda dengan itu, puisi-puisi Hamami Adaby agak reportois pada alam tanpa opini. Ia seorang pengagum alam yang bicara dari langit ke langit dan dari lanskap ke lanskap. "Pelangi Senja" Cakrawala pelangi selalu kukagumi, karena selingkuh warna, air, matahari dan bumi, meneteskan gula paduan zatnya.
Masih kita dapatkan lagi imaji-imajinya pada laut "Di Atas Kapal" Angin berlomba mengejar Samudera, berlomba menggetar sukma, begitulah seterusnya adinda. Boleh jadi sisa-sisa romantik masih berkesan di jiwa penyair ini sebagaimana kita dapatkan dalam sajak "Ballada di rumah sakit" aku pamit, kubisiki,kita selalu bersama sayang.
Arsyad Indradi, penyair yang juga penari ini memang kelihatan lebih mempertimbangkan kematangan dalam menangkap kelebat imajinya. Arsyad Indradi kembali menuranikan obsesinya dalam efek relegiusitas di tempat yang paling tinggi, di puncak nurani.
Imajinya menggelandang ke dalam relung hati, menjelajah tubuh dan mengisi nikmatnya dahaga, masuk ke dalam lubuk jantungnya. Asosiasi makna yang terdapat dalam style imagis Arsyad Indradi terasa lebih bebas menggiring dan bergerak menekan konteks.
Bila kita dapat lebih khusyu dengan idiom-idiom putik kita seakan diajak penyair menelisik mengikuti perjalanan batinnya yang sendu. Tak ada kekakuan idiom (ufoni), bahasanya bergerak manja untuk kita ikuti ke sana kemari.
Semua puisi yang beringuh romantis ini ditulis di tahun 2000. Tentu ini prestasi tersendiri. Namun, amat sayang pula kita mesti mencari tahu sistem yang lecentia poetica Arsyad Indradi dalam penulisan tanda hubung pengulang yang ditanggalkan begitu saja seperti, mazmurmazmur, akarakaran, gordengorden, gurungurunmu, riakdemiriak, masasilamku, burungburung, awanawan, rindudendam, bayangbayang, bintangbintangMu, karangkarang, langitlangitmu, hentihenti, halamandemihalaman, acuhtakacuh, dan lain-lain.
Hampir setiap judul puisi berisi sistem penulisan itu, padahal itu sebuah sistem yang tidak lazim. Tentu ketaklaziman ini sebuah refleksi licentia poetica yang hanya diketahui penyairnya.
Pertanyaan kita, mestikah konstruksi ini diciptakan seperti itu tanpa historisitas meaning. Tentu jawaban yang diharapkan bukan sekadar berlindung dalam legitimasi kebebasan penyair, tapi lebih dimungkinkan ada efek semiotik yang ingin disuntikan dari konstruksi itu. Bertebarannya konstruksi ini agak menggangu kenikmatan.
Meski demikian, kita perlu salut untuk ketiga penyair "Tiga Kutub Senja" atas kerja keras mereka membangun komunitas. Biarlah, komunitas ini lahir, hidup, besar dan mati sendiri di tempat ini, meski orang-orang sana memang tidak peduli untuk kelahiran kita. *****Jarkasi, pengamat seni dan budaya, dosen FKIP Bhs Indonesia dan Sastra Unlam Banjarmasin dan dimuat di http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0208/26/000853.htm
________________________________________

Sabtu, 27 Desember 2008

Arsyad Indradi


31 Desember ke-59

Di larat bulan desember
Aku masih setia merangkai tubuh
Pohon kehidupan dari lembarlembar usia
Alangkah jingganya senjakala

Kusangga jiwa sunyi yang luruh
Di reranting
Mendebarkan riapkerliplampulampu
Yang kukalungkan sekujur tubuh

Malam pasti akan tiba
Apakah aku akan menangis
Seperti pertamakali lahir
Dari rahim kehidupan

Setiap lampu kecil kutabur di tubuh
Tak letih jemari merangkai zikir
Dalam cahya kasih namamu

Banjarbaru, 2008

Rabu, 24 Desember 2008

Kota dalam Puisi Penyair Banjarbaru

Oleh Sainul Hermawan

Dewan Kesenian Daerah Banjarbaru bekerjasama dengan Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru, pada 1997 menerbitkan antologi puisi tujuh penyair Banjarbaru, berjudul Gerbang Pemukiman. Antologi tersebut menghimpun 5 puisi karya Aria Patrajaya, 5 puisi Ariffin Noor Hasby, 6 puisi Arsyad Indradi, 6 puisi Eza Thabry Husano, 6 sajak Fakhruddin, 3 puisi M. Rifani Djamhari, dan 5 puisi M. Syarkawi Mar’ie. Semua puisi itu merenungkan beragam tema, tetapi tulisan ini hanya ingin membahas bagaimana beberapa puisi dari antologi tersebut merenungkan kota.
Sajak-sajak yang membicarakan kota adalah sajak Syair Musim, dan Guman Banjarbaru karya A. Patrajaya (hlm. 6, 7); Syair Manusia karya Ariffin Noor Hasby (hlm. 12); Syair Kota, dan Taman di Tengah Kota karya Arsyad Indradi (hlm. 13, 16); Sebelum Kota-kota Padam karya Eza Thabry Husano (hlm. 22); Catatan Kota ke-22 karya Fakhruddin (hlm. 28); Ninabobo karya M. Rifani Djamhari (hlm. 34), dan Lukisan Sebuah Kota karya M. Syarkawi Mar’ie (hlm. 41).
Karya-karya yang belum terlalu lama itu tetap penting untuk kita baca karena secara estetis karya-karya ini telah berupaya mendokumentasikan dinamika mentalitas masyarakatnya. Setiap pembacaan yang dilakukan oleh siapa pun adalah sumber kehidupan bagi karya sastra karena tanpa pembaca karya sastra tidak berarti apa-apa. Sastra yang menyejarah, yang hidup, adalah karya sastra yang dibaca.
Kota dalam sajak Syair Musim adalah tempat yang tidak menyenangkan, tidak sehat: Musim yang jatuh di balik kotaku/menimpa rumah-rumah,....[..]/ Debu menyapa dengan ganas/Luka. Aku lirik dalam sajak ini menyadari bahwa kegerahan kota adalah hasil negatif dari perwujudan nafsu destruktif manusia-manusianya. Kegerahan kota akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya: [...] Gerbang tahun menghamili waktu. Dan panas musim ini adalah anak nakal yang lahir dari waktu.
Dalam sajak berikutnya, Guman Banjarbaru, kita dapat mengenal siapa “aku” lirik yang memandang kotanya, Banjarbaru. Aku lirik adalah sesorang dari kelas sosial menengah atas yang kritis pada sekitarnya. Ini terlihat dari selera atau pengetahuannya tentang musik jazz, dan cara ia memposisikan diri dari manusia lain dalam sajak itu: Duduk di pelataran sore mendengarkan ‘Havana’-nya Kenny G., Banjarbaru, teringat aku akan pembersih jalanan. Dengan mempersonifikasikan Banjarbaru, dia menyapa kota itu dan secara tak langsung mengeritik dan mengingatkan betapa buruk rupa kotanya, dan betapa penting arti mereka bagi kebersihan wajahnya: Debu yang beterbangan, daun angsana yang mengisi selokan berpacu dengan denyut nadi mereka/ [...] mereka sudahkan tubuhmu yang kotor dari tangan runcing dan kusamnya wajah kota. Sunyi nafas mereka memberi harum pada bunga.// Mereka sihir dengan serpihan kaki. Guman: !!?!!.... Ada semacam pembelaan dan penghargaan terhadap jasa pembersih kota yang kurang dihargai oleh masyarakat dan aparat yang seharusnya menghargai perannya. Pembersih jalanan bisa siapa saja yang berupaya membuat Banjarbaru tidak kotor secara fisik dan psikis.
Dalam sajak Syair Manusia, kota diibaratkan seorang yang kehilangan cahaya karena hidup di dalamnya penuh sandiwara, penuh kebohongan: Kota-kota bergerak mencari lentera manusia/ lewat pintu yang kau ucapkan dalam bahasa musim/ tapi orang-orang masih menjadi jam/ bersandiwara dengan ruang//[...] Masyarakat kota berkata-kata penuh spontanitas, serba tiba-tiba, tak perlu dipikir dalam-dalam. Manusia kota mudah kehilangan arah: [...] Kota-kota melewati beribu dalil percakapan/ tapi adakah kita sempat mengatur ruang pikiran/ dalam gerak cepat ataupun lambat/ tanpa kehilangan kodrat tanpa kehilangan kiblat?
Ungkapan estetik sajak ini mengingatkan bahwa mereka telah tercabik-cabik sebagai manusia karena kata dan perbuatan mereka tak pernah menyatu, tak pernah utuh, hanya meruang dan mewaktu. Kenyataan inilah yang seharusnya jadi pintu masuk untuk menemukan penyelesaian bagi persoalan-persoalan kota yang penting.
Sajak Syair Kota karya Arsyad Indradi mempertegas hubungan antara kota dan segala sesuatu yang mencemaskan, mematikan, menyedihkan, dan makna yang memudar: Ada kecemasan tak sempat/ Diungkapkan ketika gugus/ Daun berguguran/ Selaksa duka/ Ilalang mencari makna [...]// Gedung dan rumah batu/ Dalam duabelas sulang asap/ Dunia purba [...] Kota tak hirau lagi pada lingkungan, dan kedamaian hidup menjauhinya. Ketentraman hidup jadi simbolisasi semata: [...] Lihat tanda tanda kehidupan/ Ketika kaubuka/ menangkap percakapan bunga/ burung-burung kau lepaskan/ dari tangan nestapa.
Kepedulian, atau lebih tepatnya kerinduan, kota pada lingkungan alamiah yang hidup, manis, indah, dan menyegarkan diwujudkan dalam miniatur, yang serba terbatas dan hanya mampu menampung impian, bukan kenyataan. Hal ini secara tersirat dapat dibaca dalam sajak Taman di Tengah Kota karya Arsyad Indradi yang lain: Ada taman di tengah kota/ Sejuta impian siapa/ yang tumbuh di sana [...]// ... Bocah bocah melukis/ Kota idamannya/ Di dinding menara/ Ada bocah melukis menara/ Yang kehilangan madu lebah/ dari bungabunga/ yang susah payah ditanamnya// [...]
Dalam imajinasi sajak Sebelum Kota-kota Padam karya Eza Thabry Husano, kota adalah semacam pemerkosa sejarah kemanusiaan yang merampas kenangan masa silam. Kota tak memerlukan sejarah. Karenanya tokoh aku dalam sajaknya memilih cara berkesenian sebagai solusi kultural agar tak digilas oleh godaan pesona kota yang bertubi-tubi: [...] seperti kota-kota lain, aku juga mementaskan teater, supaya bisa pulang ke masa kecilku/ [...] kota-kota yang menghamilimu lenyap dari sejarah kemanusiaan dan kerinduan.
Namun, si aku dalam sajak ini juga ragu pada keampuhan solusi itu sebab ia pun menghidupkan dan dihidupkan oleh peradaban kota: [...] sesuap nasi mengalir di matamu, sebagian perahu masa kecilku juga yang lapar sungai kerinduan. namun dalam perutku berdiri kota-kota pendakian yang kesekian. Ia menjadi ambigu.
Demikian pula tokoh yang menyaksikan kota, dalam sajak Fakhruddin, Catatan Kota ke-22. Penyaksi itu menyadari bahwa “keindahan” kota hanyalah dongeng atau fatamorgana. Dalam kenyataannya kota cuma realitas yang angkuh, sumpek, ruwet, dan meresahkan: memandang kota...burung-burung gelisah menyeberangi gairah pada persimpangan jalan berliku [...] anak-anak berlari keluar masuk hutan merajut kenangan dalam keangkuhan tiang-tiang [...] dan deru mobil [...].
Dengan cara yang berbeda M. S. Mar’ie, dalam Lukisan Sebuah Kota, tokoh aku mendambakan kota ideal seperti dalam sajaknya. Makna harapan di sini adalah sesuatu yang tidak hadir di dalam teks bertolak belakang dengan yang hadir. Akhirnya, M. Rifani Djamhari dalam sajak Ninabobo menawarkan solusi lain, yaitu menerima kota apa adanya karena impian untuk keluar dari kota pada akhirnya cuma jadi mimpi, jadi puisi. Cukuplah menyadari kerusakan kota dan berusaha untuk tidak memperparah kerusakan itu dengan cara tidur sebagai simbolisasi perlawanan terhadap gairah kota yang merangsang segala energi manusia yang hidup di dalamnya: [...] tidurlah kesedihan// milik kita hanya kaki yang letih/ aspal dan debu jalan/ pojok kota dengan taman yang rimbun/ [...]// Tidurlah, sungai sisigan [...] sungai nini-datu yang dituba// Tidurlah mata yang perih/ kampung halaman yang berkabut/ hutan leluhur yang diperkosa// tidurlah, tidurlah/ sebab hanya tidur pelipur kita.
Kota dalam sajak-sajak di atas adalah kota ini, juga kota-kota lain, dan mungkin juga kota yang pernah ada dan akan ada. Kota memekanisasi segala hal di dalamnya. Rutinitas manusia di dalamnya mengalienasi manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan lingkungannya karena segala interaksi reflektif dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan lingkungannya bersifat kontraktual, tidak emosional, apalagi spiritual. Bahkan emosi dan spirit di kota dialienasikan dengan beragam cara untuk mencapai nilai-nilai kontraktual baru. Mediasi untuk segala norma itu adalah uang.
Banjarmasin, 8 Maret 2005

Astagfirollah !


Dimasa lampau sebelum tahun 70-an dimana perayaan 17 Agustus, Hari Kemerdekaan RI dirayakan sedemikian meriah, penuh semangat kebangsaan dan rasa syukur. Pada waktu itu partai – partai politik dengan seluruh massanya penuh semangat patriotisme membanjiri lapangan upacara hidmat mengikuti upacara. Masing – masing partai mempertunjukkan drum bandnya memeriahkan suasana seusai upacara. Bendera- bendera partai menjadi dekorasi yang indah disetiap pelosok kampung dan kota. Tetapi setelah tahun 70-an yakni di zaman Orde Baru keikut sertaan massa partai – partai politik mulai menipis apa lagi pada masa itu jumlah partai politik masing-masing berfusi menjadi tiga partai yang didominasi oleh salah satu partai paling kuat. Setelah Orde Baru tumbang, di era Reformasi bertumbuhanlahlah partai – partai politik seperti jamur dimusim hujan. Namun banyaknya partai ini ternyata massanya tak ada yang menghadiri upacara kecuali petinggi partainya pun berada di tribon atau di dalam tenda.
Sungguh ini suatu penomena di mana jaman sudah berganti rupa. Di zaman Reformasi ini jiwa patriotisme juga sudah berubah menjadi ambisi pemburu kedudukan dan jabatan. Di masa kampanye seluruh partai mengerahkan massa dan pendukungnya untuk memenangkan partainya, memenangkan calegnya. Spanduk, pamplet, poster, baliho, yang berisikan gambar – gambar caleg seruan, ajakan, rayuan, slogan, janji – janji, dipancang dimana-mana. Bagi – bagi baju berlabel partai. Bahkan diam – diam ada yang bagi - bagi uang. Apa pun caranya masyaallah semua ditempuh dengan tidak lagi memperhatikan etika dan estetika. Yang penting adalah mendapat kemenangan. Ada partai yang menyatakan dirinya bersih dan ada yang membawa-bawa agama, padahal partainya itu tidak sama sekali mencerminkan agama.
Ya Allah yang lebih miris lagi, ada partai yang menyatarakan partainya dengan “ Ka’bah “. Ka’bah adalah tempat yang maha suci bagi umat Islam se dunia.
Astagfirollah ! **** Arsyad Indradi.

Minggu, 21 Desember 2008

Ensiklopidia yang aneh !

Membaca tulisan An Siswanto ( http://www.lakeinnisfree.blogspot.com ) “Ensiklopidia yang aneh : Sunday Oliseh dalam Citizen Journalism.” An mencari bahan bacaan tentang Citizen Journalism di Google Search pencarian adalah Wikipedia. Tetapi yang An temukan adalah Sunday Oliseh di bawah lema Citizen Journalism! Sunday Oliseh adalah seorang pemain sepak bola asal Nigeria, seangkatan dengan Nkwanko Kanu, mantan striker Arsenal, dan Jay Jay Okocha, playmaker timnas Nigeria. An tahu betul karena An adalah "gibol". Nah, masuknya nama Sunday Oliseh ke lema Citizen Journalism membuat An tertarik. Apa hubungan Oliseh dengan jurnalisme? Setelah sekian telusur An tak menemukan keterangan tentang Oliseh yang terkait dengan dunia jurnalisme. Di dalam ensiklopedia yang sama, Sunday Oliseh yang kata-katanya dikutip untuk menerangkan Citizen Journalism adalah Sunday Oliseh yang itu. Dan tidak ada keterangan lain yang menunjukkan hubungan yang jelas antara Sunday Oliseh yang itu dengan Citizen Journalism.Akhirnya, An menarik hipotesis bahwa tak selamanya Wiki, yang banyak dirujuk orang itu, memberikan informasi yang akurat.
Setelah membaca tulisan An Iswanto ini, saya ingat pada Balai Bahasa Banjarmasin menerbitkan”Ensiklopidia Sastrawan Kalsel “ ( 2008 ). Ensiklopidia tsb akhirnya mendapat tanggapan yang gencar dan tajam dari Sastrawan Kalsel. Sastrawan Kalsel mengatakan bahwa Ensiklopidia versi BBB tsb antara lain : Kurang lengkap kalau di bandingkan buku “ Sketsa Sastrawan Kalsel “yang dihimpun oleh Jarkasi dan Tajuddin Nur Gani diterbitkan Deppennas Pusat Bahasa Balai Bahasa Banjarmasin, 2001 padahal bahannya banyak diambil dari buku tersebut tapi tdk mencantumkan sumbernya. Menyajikan biodata yang tdk relevan dengan kesastraan, photo yang tertukar. Tdk termuatnya tempat – tempat berdiskusi para sastrawan, jurnal, bulletin sastra, Antologi Puisi, Antologi Cerpen dan Novel yang telah diterbitkan, secara lengkap. Pada lema, masih banyak para sastrawan terkemuka belum dicantumkan. Dan banyak tanggapan lainnya yang sebenarnya dapat dibutiri, tapi ada satu hal yang sangat menarik dan perlu direnungkan adalah “ untuk mewujudkan sebuah ensiklopidia , penyusun memerlukan langkah-langkah kerja yang sistematis, bukan sekedar “memulung” informasi dari sana-sini lantas menyusunnya secara alfabetis. Saya tidak tahu pasti apakah ensiklopidia versi Balai Bahasa Banjarmasin ini sudah tersebar secara umum atau tidak. Tapi mungkin telah dikirim ke Pusat Balai Bahasa di Jakarta. Hemat saya ensiklopidia tsb jangan disebarkan secaca umum, seperti halnya buku Ensiklopidi Sastra Indonesia ( ESI ) terbitan Titian Ilmu Bandung ( 2004 ) agar jangan menyesatkan pembaca, sebelum ada revisi. Dan saran saya secepatnya pihak Balai Bahasa Banjarmasin mengundang sastrawan dan pihak-pihak lain yang terkait untuk bekerjasama merevisi ensiklopidia tersebut.*** Arsyad Indradi

Jumat, 19 Desember 2008

Komentar : Usai Aruh Sastra V Kalimantan Selatan

Pada hakikatnya niat dan tujuan mengadakan Aruh Sastra adalah ajang silaturahmi para sastrawan, menampilkan karya masing-masing daerah kabupaten dan kota yang berada di Kalsel, dan mengevaluasi perkembangan sastra di daerah masing – masing dan Kalsel secaca umum. Kemudian hasil dari evaluasi itu dibutiri baik yang sudah maju atau yang masih kurang, semuanya dihimpun dalam sebuah rekomendasi baik yang bersifat internal mau pun eksternal. Seterusnya, setiap pelaksanaan Arus Sastra berikutnya dibuka grafis perkembangan sastra Kalsel tersebut agar menjadi cermin pelaksanaan Arus Sastra berikutnya.

Selama ini kita berharap bahwa Aruh Sastra yang setiap tahun diadakan itu memenuhi apa yang dimaksud di atas. Hemat saya kalau akan mengadakan Arus Sastra berikutnya itu idealnya harus sudah punya program acara yang disepakati dalam sebuah forum dengan melihat dan mempertimbangkan dari hasil setiap pelaksanaan Aruh Sastra.

Aruh Sastra yang sudah berjalan lima kali ini yakni Aruh Sastra V se Kalsel di Kabupaten Balangan, Paringin 12-14 Desember 2008 tentu ( hendaknya ) membawa kepuasan perkembangan kesastraan Kalsel dan siap terus meningkatkan manakala masih ada kekurangannya. Kekurangannya itu termasuk dari segi kesiapan panitia dengan segala tetek bengek lainnya tapi paling tidak meminimalkan kekurangan itu. Saya yakin Aruh Sastra yang keenam yang akan dilaksanakan di Kabupaten Barito Kuala, Marabahan ( 2009 ) nanti melunaskan harapan kita itu. Semoga. *** Arsyad Indradi

Selasa, 16 Desember 2008

PENYAIR ANGKATAN 70


Menurut versi Data – Data Kesenian Daerah Kalimantan Selatan yang disusun oleh Team Pengolahan Data Penunjang Pengembangan Kesenian Proyek Pusat Pengembangan Kesenian Kalimantan Selatan 1975/1976 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provensi Kalimantan Selatan, Penyair Angkatan 70 adalah sebagai berikut : Ajamuddin Tivani, Arsyad Indradi, Ajim Arijadi, Ibramsyah Barbary, A.Rasyidi Umar, A.Ruslan Barkahi, Bachtiar Sanderta, Sabri Hermantedo, Ismail Effendi, Eza Thabri Husano, Hamami Adaby, A,Mujahiddin S, Abdul Karim Amar, Roek Syamsuri.
Salah satu Penyair Angkatan 70 dan Puisinya :

Arsyad Indradi

Arakan Keranda Batu
: aksi solidaritas (1)

hari ini delapan Februari
keranda itu telah kami usung
di puncak tugu bundar
menuju pemakaman
yang kami bangun sendiri
dari bongkahan api hatinurani

16 seniman mengepal tangan
tak ada kata lain
kecuali lawan
kemunafikan

melintas cakrawala
sebab demokrasi telah terpidana
di negeri tercinta

kami usung keranda ini
dengan linangan airmata api
dengan langkah pasti :
Kembalikan Arief Budiman !

Banjarmasin, Selasa Sore,8 Februari 1972



Pemakaman Demokrasi
: aksi solidaritas (2)

16 karangan bunga berselempang langit jingga
lagu padamu negeri dan syukur berkumandang
dari lautan hati yang gemuruh

badai selaksa duka
requiem lahir
sepanjang alir airmata
wajahwajah yang luka
tangantangan bersimpuh doa
matahari jelaga

16 karangan bunga berselempang langit jingga
hari ini kami risalahkan
semua padamu negeri tercinta
ia akan bangkit kembali
dan terpahat di dada
hari ini
di tanah pusaka ini
kami telah tiada sangsi
hanya ada satu pilihan
perang melawan tirani !

bjm, 8 Februari 1972


Hidup Diburu
: aksi solidaritas (3)

Hari ini gerimis mulai turun
malam pun mulai kelam
tekad baja erat lekat di dada
dari tugu bundar menapak sepanjang kota
kaki tak pernah gentar membela yang benar

sajaksajak melontarkan kegelisahan
atas ketiadapastian hukum di negari tercinta
lagulaguduka didendangkan

dari kakilangit
Jeep Pol 1312 memuntahkan pasukan perintis
mengepung dari segenap penjuru
tapi laut yang tenang telah kami badaikan
sepanjang khatulistiwa
sepanjang poros bumi yang berputar
dan pasukan itu pun tak bisa berbuat apaapa

gerimis telah menjadi hujan
kami dijebak dalam sebuah bus
ke padang perburuan

bapakbapak jangan kau anggap kami ini
bertendensi anjinganjing politik
sebab politik itu kotor sekali
di sini aspirasi atas persamaan kepentingan
dan kesadaran melihat ketidakpuasan situasi negri tercinta

apalah sebuah seltahanan
apalah pasal 510 kuhp dijeratkan
takkan surut melawan kemunafikan

sungguh wartawan foto yang sejak lama
mengikuti arakarakan perjuangan
filmnya dibredel oleh kepolisian
dan mulut koran di banjarmasin
di kunci dengan surat sakti

hari ini sembilan februari
16 mentari pagi
mengadakan upacara hidmat merahputih
di halaman komres jalan s.parman
orangorang pada tabjub mendengar padamu negeri
mengetuk setiap hatinurani

Banjarmasin, 1972

Sabtu, 06 Desember 2008

HATI-HATI PENIPUAN

Gebyar Promo Attack 2008

Aku tak pernah berpikir sebelumnya akan memilih sabun mandi lain ketika di sebuah toko. Aku kehabisan sabun mandi. Entah apa aku memilih sabun mandi yang tak biasa kupakai. Setelah masuk kamar mandi aku membuka kemasan yang memang cukup menarik. Attack – Easy demikian tertera di bungkusnya. Tiba-tiba mataku nanar menatap sebuah kupon bentuknya agak kecil disertai Surat Pemberitahuan bersama sabun mandi yang harum baunya. Aku menunda mandi sejenak untuk membaca kupon dan Surat Pemberitahuan bernomor 34081/kao/8/2/2008. Di surat itu tertera tanda tangan dan stempel yang bertulis Dirut PT KAO Drs H. Sigit Purwanto SE, Disahkan Oleh Polda Metro Jaya Irjen Pol Adang Firman, Departemen Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Drs Sudarmin MM, Notaris Muhammad Bachtiar SH.MH. Di kupon ada petunjuk gogok disini. Lalu kugosok plastik transparan di sudut kanan, nampaklah tulisan “ Selamat Anda Mendapat Hadiah Kijang Inova “. Selesai mandi, nomor telpun yang tertera di sudut kiri 021-32379881 dan 021-91870838 kuhubungi. Hubungan terhubung dan masing-masing memperkenalkan identitas. Kemudian terlibatlah pembicaraan yang panjang. Katanya : “ Mobil siap akan dikirim via Hercolis dan langsung diantar ketempat “. Lanjutnya : “ Karena ini sudah menjadi peraturan perusahaan sebelumnya Anda harus mentransferkan uang sebesar 4 juta . Uang ini sebagai biaya pengiriman dan biaya administrasi balik nama kendaraan. Uang Anda tidak akan hilang sebab akan dikembalikan “. Aku bertanya tolong infokan alamat PT.Kao Indonesia ini. Dia yang mengaku dirutnya menyebutkan alamatnya ( kurang jelas dan kesan gugup ). Begini kataku : “ Aku akan ke Jakarta mengantarkan uangnya langsung keperusahaan ini “. Mendengar ini dia menekan nada suaranya : “ O, peraturan tidak memperkenankan uangnya diantar tapi dikirimkan”. Tak terasa aku tertawa. Mendengar tawaku ini dia rupanya berang : “ Saya tak pernah menemui orang yang mendapat hadiah susah diatur “. Aku tidak mau lagi melanjutkan pembicaraan konyol ini sebab pembicaraan diselingi perdebatan sudah berjam-jam, lalu kututup telpun tanpa permisi sebab aku pikir yang beruntung dalam hal ini adalah perusahaan telkom. Aku bayar pulsa. Dan sangat disayangkan PT Kao Indonesia mungkin tidak mengadakan kupon berhadiah tapi dimanfaatkan oleh oknum mengambil keuntungan atas nama perusahaan ini. Dan sepatutnyalah PT Kao Indonesia secepatnya mengklarifikasi masalah ini di media cetak, televisi maupun internet.*** Arsyad Indradi.

Rabu, 03 Desember 2008

" KALALATU " BALADA ATAU MANTRA ?



Oleh : Dr. Sudaryono,M.Pd

Dosen FKIP Unipersitas Jambi





Jika Ajip Rosidi punya “Jante Arkidam “ dan Rendra punya “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Mencari Bapa”, seorang Arsyad Indradi (Penyair dari Banjarbaru,Kalimantan Selatan) punya “Bagandang Nyiru”, “Kakek Adul”, “Nama Terpuji”, “Terbang Burung”, “Nini Aluh”, “Harumi Tanah Banyu”, “Nisan Berlumur Darah”, “Dundang Duka Seribu Burung”, dan lain-lain.Balada selalu menarik dibicarakan karena di dalam puisi jenis ini tampil karakter tokoh atau sesuatu yang ditokohkan. Ajip Rosidi menampilkan karakter Jante Arkidam, yang digali dari khasanah budaya Pasundan, Jawa Barat. Rendra menampilkan sosok manusia Jawa dalam sajak-sajak balada yang digubahnya.

Dalam proses kreatif penulis sajak, atau dalam perkembangan seorang penyair dalam dunia kreatif, hampir dapat dipastikan pernah memilih balada sebagai cara ungkap. Dimas Arika Mihardja (penyair Jambi), misalnya pernah menulis “Malin Kundang” dalam bentuk balada yang memikat banyak orang sehingga sering dipentaskan baik dalam dramatisasi puisi, musikalisasi puisi, maupun forum baca puisi. Tidak setiap penyair berhasil menggunakan format balada untuk mengaktualisasikan ide-idenya. Ajip Rosidi meskipun pernah menghasilkan “Jante Arkidam”, tidak Rendra boleh tergolong penyair yang paling kuat menulis balada, terbukti banyak sajak yang ditulis Rendra, misalnya “Balada Orang Tercinta”,”Balada Sumilah”, “Balada Lelaki Tanah Kapur”, dan lain-lain. Rendra kuat menghasilkan sajak balada, sebab latar belakang penguasaan teater meronai balada-balada yang ditulisnya. Balada memang dekat dengan kemampuan olah teater.Penyair yang juga menguasai teater biasanya berhasil menulis sajak jenis balada ini.

Arsyad Indradi, sebagai penyair yang tumbuh dan besar di daerahnya berhasil menulis sajak-sajak berjenis balada yang dibaurkan dengan mantra dalam bahasa Banjar—dan penyair ini bermukim di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Sajak-sajak bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia dihimpun dalam buku Kalalatu (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru,2006). Buku ini memuat 70 sajak yang ditulis dekade 1990-an hingga 2000-an.Kalimantan dalam peta sastra nusantara tak bisa diremehkan, sebab di pulau ini ada Korrie Layun Rampan, Ajamuddin Tifani (almarhum), Hamami Adaby, Micky Hidayat, dan tentu saja Arsyad Indradi.

Balada yang disuguhkan dalam buku Kalalatu ini tentu saja tidak menampilkan pengertian balada secara teoritis, melainkan penyair Arsyad Indradi hanya mengambil dan menampilkan ruh balada dan dipadukannya dengan kekuatan mantra. Dengan kata lain, balada yang diciptakan oleh penyair Banjarbaru ini telah mengalami apa yang disebut eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan, dan efek yang difungsikan) dan dikawinkan dengan sajak berjenis mantra.

Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metafor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merengsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut.

Marilah kita simak balada yang memiliki kekuatan magis seperti mantra yang digubah oleh Arsyad Indradi. Dalam sajak “Bagandang Nyiru” (menabuh tampah), tampil tokoh Ainun, Juhri, Kakek Adul, dan Nini Aluh. Ainun digambarkan sebagai teman sepermainan Juhri dan Juhri mewakili tokoh yang bisa dijadikan teladan, “Juhri yang berkaki panjang sebelah/tapi pintar bagimpar dan bagipang/di kampung namanya terpuji/”. Masyarakat memandang hormat dan bersahabat pada Juhri yang membawa “handayang dan suluh/Riuh bergendang tampah sambil memanggil nama Juhri/”. Ciri khas balada dan mantra tampil melalui repetisi seperti ini : “Sungai semakin mengalir deras Juhri pulang/Juhri pulang/Juhri merasa semakin juga terbawa arus/ ...Juhri pulang/ Kau dimana Juhri/ Cepat pulang”. Sosok Kakek Adul dan Nini Aluh ditampilkan sebagai tokoh masyarakat yang mewakili “tuo-tuo tengganai” atau “pemangku adat” yang disegani. Peristiwa tragis yang menimpa Juhri lantaran hanyut di sungai dikemas secara halus, namun tragik. Di sini juga tampak muatan lokal (local colour) yang disajikan secara arif oleh penyairnya.

T Tokoh Kakek Adul selanjutnya tampil mendominasi pada sajak berjudul “Kakek Adul”. Siapa Kakek Adul, apa masalahnya, dan bagaimana keberadaannya ? Kakek Adul digambarkan sebagai cermin : Kakek cermin bagi kami”. Hal ini disebabkan bahwa Kakek Adul adalah representasi adat-istiadat, sumber petuah, sumber berbagai ajaran tentang kehidupan. Kita simak : Bila tinggi sekolahnya jangan dilupakan juga/adatistiadat dan petuah orang bahari/Hidup ada aturannya tungai/ Jika terlanggar pamali/Ini dikatakan tahyul/Permisi lewat di hadapan orang tua/Pamali duduk di muka pintu waktu hari senja/Anak beriman ingat dengan waktu/Pelihara sangkar bumi dan sangkar langit/kita di dalamnya di bibir tiada lepas dengan thayyibah/ di ruas jari kita jangan tertinggal tasbih/Bila tidur bantal kita syahadat/ Selimut kita zikir …. “. Kakek Adul adalah sosok manusia yang arif, disegani, dan penyayang anak-cucu, dan acuan dalam menjalani kehidupan.

Tokoh Nini Aluh, sebagaimana juga tokoh Kakek Adul, merupakan wakil dari sosok orang tua yang nasihat-nasihatnya pantas diteladani lantaran memiliki kesaktian. Sosok Nini Aluh ini secara lengkap dapat kita tangkap melalui penggambaran : “ Di banua banyak orang berobat pada nenek/Jika kena pulasit parang maya atau termakan racun/ Dan beliau seperti membuangi klimpanan/Cah jika ular saja tidak mempan mematuk beliau/dimasukan beliau dalam tapih”. Kekuatan balada dan mantra, antara lain tampil melalui deskripsi atau narasi dengan eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan,dan efek yang difungsikan).Kita simak sajak “Nama Terpuji” berikut


Harum setanggi pudak melati berenteng di gelung dua

Bergelang emas berkalung emas bersusun bertingkattiga

Berwajah cantik berharta banyak apalah artinya

Apalah artinya jika adat budi bahasa tidak dipakai tidak dijaga

Banyak orang berperilaku banyak menanam nyiur

Padahal handayangnya gugur memperapas

Peribahasa menyatakan “ Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama”. Manusia mati meninggalkan nama ini dijadikan entry bagi penyair untuk mengekspresikan pemikirannya. Sajak yang mengandung ajaran luhur seperti itu, tampil juga dalam sajak “Sayang Gunung” seperti ini :


Bumi yang dipijak

Langit yang dijunjung

Siapalah lagi yang memelihara

Jika kita juga tidak ikut membangun

Rusaklah binasa

Jauhkan bala

Sayang gunung

Sampai jauh batas suara burung

Sayang gunung

Sayangi tanah air hutan belukar


Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metaphor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut. Kita simak beberapa penggalan berikut ini.


“Berdeburan angin beruap panas/Diketinggian gunung hauqalah bau harum/ kembang al kautsar semerbak/Kupegangi erat jazim dalam dadaku/Kuiringi kemana


terbang hinggap kupu-kupu … Jangan sungkan masuklah /Beradab dengan shalawat/Nyalai kamarnya dengan ma’rifatullah/Bukai jendelanya dengan nuruttajali” (“Terbang Burung)”.


Sementara itu, sajak yang kental nuansa mantranya tampak pada sajak “Darahseperti ini : Adalah langit darah berdarah/Tak habishabis jadi laut berabadabad telah/ tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas darahku membatubara/dikunci rahasia Alifmu Alif Alif/ darah Adamku yang terdampar di bumi/ yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku/yang rapuh tersesat di belantaramu meraung/darah laparku/mencakarcakar mencari darahku/ beri aku barang setetes Hu Allah/getar alir napas menyeru darahmu mengalir darah mataku/mengalir darah musafir di sajadahmu/mengalir menuju rumahmu.


Kekuatan magis dengan pola ungkap mantra, seperti pernah dilakukan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan “ O, Amuk, Kapak “nya, dapat kita rasakan dalam larik-larik sajak “Darah” berikut :

darah hidupku Hu Allah

darah matiku Hu Allah

darah hidupmatiku Hu Allah

darah raungku Hu Allah

darah cakarku Hu Allah

darah laparku Hu Allah

darah hausku Hu Allah

darah ngiluku Hu Allah

darah rinduku Hu Allah

……….


semesta bergoncang Hu Allah

arasy pun bergoncang Hu Allah

darahku aujubillah

darahku astagfirullah

darahku subhanallah

Allah


Sajak “Darah” yang berdarah-darah ini niscaya memiliki kekuatan magis setara dengan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Arsyad Indradi dalam sajak “Darah” ini berhasil menggali potensi budaya Melayu dengan tradisi mantranya. Ciri-ciri mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing , dan penggunaan enjambemen ), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memeberikan daya ajuk), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan kata-kata kongkret. Tak pelak lagi, sajak “Darah” mewakili keberhasilan Arsyad Indradi sebagai penyair yang pantas diperhitunghkan. Sekian, salam budaya.

Jambi, 23 Januari 2008

( Radar Banjarmasin, Minggu 28 Januari 2007
Ingin tahu Esai yang lain ? Klik Esai Tentang Arsyad Indradi




Arsyad Indradi

SENJA Di TANAH LOT


Dengan sabar aku menunggu
Sementara gulungan ombak menggemuruh
Di pantai yang sunyi
Berkalikali kukubur fatamorgana
Agar aku dapat melihat seluasluas laut


Kuserahkan diri pada pecahan ombak di batubatukarang
Debar jiwa di mataharimerah diseliputi awan
Langit telah melahirkan senja


Bersuntingbunga dan beras antara dua alis
Kubuihkan sukmasejatiku di mataombak yang kemilau
Yang menggitakan ayatayat utsaha dharma
Aku masih menunggumu, kekasih

Bali, 2008

Selasa, 02 Desember 2008

Arsyad Indradi

DI ATAS RANJANG WAKTU


Kuhempashempas tubuh
Agar muncrat api
Raya Puncak muntah salju
Tubuhku beku


Tak ada api, kaukah api
Tak ada tungku, kaukah tungku
Ah begitu jahanamnya malam


Tak lelehleleh
Setiap erang kuhempashepas
di batubatu rindu


Kau berkata : Membaralah dalam tubuhku
Hingga puncak ekstase
Di atas ranjang waktu


Bogor, 2007

Arsyad Indradi

MALAM PENUH RIWAYAT

: Diah Hadaning


Masih terjaga ketika kau berkata : Kita bukan bayang yang tenggelam
dalam tabir kelamnya. Biarkan hanyut, melata seperti ular.
Lidahnya menjulur melahirkan riwayat dan matanya
Lihatlah meneteskan sajaksajak yang bertuak
Bertuak sepanjang malam. Aku mabuk dalam bulan Meimu
Mabuk kembangapi muncrat dari usiamu yang panjang
Aku berbisik : Izinkan aku mencium aroma tanganmu


Malam itu beribu riwayat. Tak lelah sedikit pun menatap lalulintas
jalan kehidupan sepanjang Cikini Raya
sampai TIM itu kelelap tenggelam seribu diam
Kita kemudian terus juga berjalan sepanjang trotoar
dan bertambat di lobi Alya Hotel, kembali bersulang


Kita bersitatap : Sungguh masih begitu bening bola matamu
Lalu kita mencuci impian digema azan dini hari
Dan kau berkata : Sungguh eloknya surya bangkit nun di timur
Bulan Mei selalu ada di bulan Desembermu : bisikmu penuh rahasia
Lalu berlari masuk bus dan lenyap dari pandangan


Di seberang jalan aku masih berdiri menatap bayangan
yang semakin menebal dalam kenangan


Jakarta, 2007

Arsyad Indradi

Gerimis

Gerimis setiap ada luka
Tapi luka langit mengalirkan
bianglala biasan mata
lantaran gerimis selalu
membasahi setiap langkah kita

Gerimis adalah nestapa
Senantiasa tak pernah beranjak
dari setiap luka

bbaru, 2008

( Puisi ini ku sms kan buat Penyair Jambi Dimas Arika Mihardja dalam " Upacara Gerimis "nya )

Sabtu, 29 November 2008

SAJAK-SAJAK ARSYAD INDRADI DI REPUBLIKA, Ahad, 24 Feb 2008

SYAIR GURHAH

Siapa membaca syair gurdah
Di tengah malam ketika bulan memancar
Rumahrumah dan pepohonan pada tafakur
Menyingkap liriklirik yang dihampar angin

Mataku berlinangan membaca diri
Di alun terbang
Dalam dendang doa dan pujian

Bulan memancar
Bulan penuh di dalam dada
Memancar Subhanallah

Kemana kita menyempurnakan harapan
Ke sana kita menghadap menyerahkan diri

Banjrbaru, 2006


SENJA LURUH

Dangau sesak dengan cahaya redupredup
Persawahan yang lama terbengkalai
Dia terhampar di atas tumpukan jerami
Duhai lama nian menunggu
Cepatlah lepaskan tali kehidupan
Cepat ambili

Ruh yang turun di atas bumi
Yang mengandung bau cendana
Menghembus liar di padang banta
Langit berawan habiskan selaksa belalang
Terbang menjelajahi padang ilalang
Ambil daku yang membuat cinta
Yang aku sendiri merindu
Penat tiada terkira
Menanggung dalam raga

Duhai ambilkan semua warna ruhku
Ciuman kasih dan nista
Aku silau dalam cahayaku yang lelah
Burungburung kehilangan pengepak sayap
Langit dan hutan membungkus ruhku
Masuk dalam mimpi abadi

Banjarbaru, 2004


MUSAFIR

Tidak lebih yang kupinta cuma doa
Melunaskan airmata harikehari
Yang jatuh ke jejak langkah
Setiap aku menulis risalah
Perjalanan dalam puisi

Doa adalah titian
Penyeberangan
Menuju batas
Kembali ke akhir
Menyempurnakan nafas

Banjarbaru, 2006


KEMARAU

Siapa menghentak kurungkurung
ke penghabisan suara burung
jalan setapak mencari batas
hari beruap panas
menyusur suara keririang memilu
di selasela kayukayuan
sewaktu matahari menusuk

Ketika menyeberang guntung
kau berkata :
Siapa yang menghentak kurungkurung
di penghabisan suara burung
senantiasa panas menggantang

Tanah huma seperti siput dipepes
sunyi tiada berdaya
dalam letupan buah para
dikunyah matahari

Banjarbaru, 2005

Selasa, 25 November 2008

Buku Arsyad


Dunia kepenyairan punya banyak ‘orang gila’. Salah satunya, Arsyad Indradi Salah satu kegilaan penyair senior Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ini adalah rela menjual tanahnya untuk membiayai penerbitan buku antologi puisi. “ Dia sampai harus menjual tanahnya untuk buku itu, “ kata penyair Banjarmasin, Micky Hidayat.Antologi puisi yang dibiayai Arsyad dengan sebidang tanahnya itu memang bukan buku sembarangan. Buku bertajuk 142 Penyair Menuju Bulan yang diterbitkan melalui Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ) yang didirikannya itu berisi 426 puisi karya 142 penyair Nusantara sejak yang baru muncul sampai yang paling senior. Termasuk, sajak – sajak presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.Di tengah tebaran ratusan buku antologi sajak di Tanah Air, kehadiran buku 142 Penyair Menuju Bulan itu tentu menjadi sangat penting, karena merangkum hampir semua penyair Indonesia dari semua generasi. Buku tersebut tidak hanya telah mendokumentasikan karya – karya mereka untuk diabadikan, tetapi juga untuk dapat menjadi rujukan penting penulisan sejarah perkembangan perpuisian di Nusantara. Karena itu, pengorbanan dan dedikasi Arsyad (semoga) tidaklah sia – sia.Selain Arsyad, dunia kepenyairan Indonesia banyak memiliki penyair yang sering menunjukkan pengorbanan dan dedikasi yang luar biasa pada sastra Indonesia. Di Mataram, NTB, misalnya, ada penyair senior Dinullah Rayes, yang sering harus menjual kudanya untuk biaya kegiatan sastra dan mengikuti acara di luar kota. Luar biasanya, meskipun rumahnya belum lama ini ludes terbakar, Dinullah masih saja dengan penuh semangat menghadiri acara – acara sastra di Jawa secara swadaya.
***
Jika inti kepahlawanan adalah kerelaan berkorban untuk bangsanya, maka Arsyad Indradi dan Dinullah Rayes adalah pahlawan sastra. Keduanya rela mengorbankan apa saja untuk ikut memajukan kesastraan bangsanya, tanpa peduli waktu, jarak, dan usia. Apa lagi sekadar berkorban harta, mereka akan rela – rela saja.Karena itulah, ketika menjadi pembicara pada The Ist International Poetry Gathering di Medan tahun lalu, saya sempat mengusulkan agar pemerintah dapat memberikan penghargaan khusus untuk penyair – penyair seperti Arsyad dan Dinullah. Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film, Mukhlis Pa’Eni, yang saat itu tampil sebagai keynote speaker, menyambut baik ide tersebut. Namun, realisasinya memang masih harus kita tunggu.
( Ahmadun Yosi Herfanda )
Dari : Harian Republika, minggu, 24 Februari 2008 dan http://www.republika.co.id

Senin, 17 November 2008

SETANGKAI BUNGA DALAM SERIBU AROMA EKSPRESI CINTA LELAKI BANJAR






Oleh : Diah Hadaning (Warung Sastra DIHA,Bogor)

... Sempurnakan jerit setangkai bunga/Agar mimpi jangan gelisah/Waktu pagi dibasuh tangisan kecil/Tapi aku tak ingin siapa pun/Mengusik ujung kelopaknya/Sebab setiap tetes embun/Adalah suara rintihan riwayat/Kerinduan/ Tak perlu jambangan/Sebab akulah jambangan setiap rintihan/Tuhan kutaruh keyakinan/Jangan kau sembunyi di balik anganangan...” (Arsyad Indradi: Romansa Setangkai Bunga) Ekspresi cinta atau kata-kata pujangga yang sarat makna ? Tentu hanya sang penyair dan Tuhan yang mengetahui. Pembaca adalah penikmat yang ‘ bersih tanpa pisau bedah, membiarkan hati terbuka.

Romansa Setangkai Bunga “ yang diangkat dari judul puisi pertama merupakan ‘pernyataan’ penyair pada dunia (seni) yang mengetengahkan etika dan estetika serta tetap percaya pada kata, modal penting bagi penciptaan puisi.

Jagad kecil dan jagad agung yang menyatu, sang diri dan Tuhannya yang saling tahu, nyata sebentuk keindahan yang tak akan pernah pudar dari jagad kepenyairan seseorang. Semua bisa memesona manusia dalam ‘seruas waktu’ : pagi,embun, bunga, mimpi, kerinduan, tempat, dan jiwa, adalah nuansa percik-percik kasih sayang.

Bagi seseorang, banyak cara untuk mewujudkan mimpi yang menyatu dengan kenyataan serta harapan. Puisi merupakan salah satunya selain sebagai saksi jaman dan saksi perjalanan usia. Bagi Arsyad Indradi ( Barabai, 1949 ), puisi mempunyai makna yang cukup pribadi. Manusiawi jika seorang penyair juga ingin mengenang masa muda, bagian awal dari perjalanan panjang anak manusia dalam menjalani kehidupan. Tentu saja termasuk di dalamnya, persahabatan karunia yang memperkaya jiwa – dan juga kebersamaan yang selalu menambah pengalaman, itu memberi nuansa kebahagiaan tersendiri.

Hal-hal itulah yang ingin dituangkan penyair dalam antologi puisinya berisi 85 judul bertajuk ‘ Romansa Setangkai Bunga ‘. Menikmati ‘ bunga rampai album puisi cinta Arsyad Indradi’ yang bertitimangsa periode 1970 – 1979, 1980 – 1988, 1993 – 1998, dan 2000 – 2006, pembaca dibawa memasuki taman bunga dunia kata. Yang terhampar adalah warna-warna yang elok, bersih, dan santun. ‘Pakem’ perpuisian merupakan suatu nilai yang tetap dipertahankan sang penyaair.

Sebagai puisi bernuansa cinta tentu banyak ungkapan tentangnya seperti terwakili dalam kata-kata cinta, asmara, rindu, sunyi, senyum., tangis, dan isak sembilu mendaki mimpi-mimpi (spesifik Arsyad ?). Juga bisa ditemukan idiom-idiom yang unik seperti larva bintang, semak ganggang, serbuk bintang, serbuk ganggang, musik batu kolam (sebuah judul puisi hlm 80, ditulis 1985).

Lebih lama menyimak lebih terasa nafas konfensional yang nampaknya memang menjadi bagian dari gaya penyairnya. Namun ada juga yang terasa kenes seperti diwakili oleh judul puisi Di Kolam Garden City Waktu Pagi, Aku tersesat dalam Gumpalan Pekat, Renjana, puisi-puisi yang ditulisnya tahun 1977, pada saat penyair berusia 28 tahun.

Puisi-puisi dalam ‘RSB’ sesuai dengan maksudnya, kental dengan aroma cinta. Sebagai contoh, Puisi Kau Kirim Gerimis memuat impian-impian yang wajar pada orang muda usia (21 tahun). Tapi ia juga telah bicara tentang ajal, kegamangan serta kecemasan-kecemasan. Semuanya menjadi bagian dari nuansa jiwa seorang penyair, sedang tumbuh maupun telah menemukan ‘dunianya’.

Di tahun 2006 pada saat penyair berusia 57, masih menunjukkan gairah jiwa muda ‘ yang kaya aroma anggur ‘ masih tersimpan hasrat indah ingin memetik dengan lembut bunga-bunga yang bermekaran di hati “sang kekasih’ dan masih memiliki semangat ‘menangkap’ suatu yang bermanfaat bagi dunia kehidupan. Setiap insan yang menjalani kehidupan dan mengusung misi NYA, bukankah harus menjaga yang satu ini ? Menangkap yang bermanfaat !

Ada lagi pada hlm 22, sebuah judul yang akan ada dan terjadi sepanjang jaman, di setiap mana, di setiap siapa, yaitu ‘Kisah Kasih di Suatu Taman’ – sebuah pesona peristiwa kejiwaan, sebuah lukisan indahnya kesetiaan, yang mengingat terbatasnya ruang bisa dikutipkan sebagian dari puisi tersebut. “ Asmara tiada pernah mengenal musim/Bersemi pada siapa pun dalam kehidupan/Mekar dibungakan/Dan wangi pun diharumkan/ ...” Sebuah kisah yang bisa dialami siapa saja ( tanpa beban dosa ? ) – tentunya jika oleh mereka yang masing-masing masih ‘sendiri’. Dalam pengertian, menjalin kisah tanpa merugikan dan menyakiti sesama, bukan ? ( Wahai penyair, jika itu yang dimaksud, itulah keindahan sejati ! ).

Ya, insan seni dalam konteks ini penyair, adalah pencatat jaman, perekam sejarah dalam skala mikro maupun makro. Seniman (sastra) adalah manusia yang diberkahi, maka ia punya pertanggungjawaban moral kepada sang Pemberi, kepada bangsa dan negeri, tempat ia tumbuh, hidup dan berkembang, dan tentunya kepada nurani sebagai insan yang tahu berterimakasih kepada Penciptanya. Arsyad sangat menyadarinya. Menyadari bahwa dunia penyair adalah ‘dunia kata-kata’ maka ia memberi tempat dan kepercayaan yang baik kepada kata-kata.

Arsyad yang baru saya kenal lewat nama dan karya, pada saat saya menulis ini, terasa sekali kami bagaikan sedang berdialog, tukar pikiran, saling memahami dan bisa saling mengerti pada bagian-bagian tertentu. Sepertinya saya bisa meraba hatinya, menggarisbawahi pemikirannya ( ya, tulisan/catatan ini lantas menukik lantaran saya bukan kritikus tapi sesama pelaku seni yang ketemu mitra sewawasan ), jadi perasaan lebih ikut berperan. Bukankah begitu mitraku penunggu bumi Kalimantan yang tetap setia ?

Kita sama-sama tahu bahwa insan seni bukan penonton di pinggir gelanggang melainkan pelaku peristiwa di gelar arena kehidupan. Ia juga bukan pejalan kaki di trotoar yang lewat sesaat lalu hilang bersama perjalanan waktu. Masalahnya adalah bagaimana menjaga semuanya ini relatif berdaya guna baik bagi diri maupun sesama.

Saya yakin setiap penyair yang berangkat dari sebuah kesadaran dan bukan dari ‘ sekedar ‘, sepanjang usia proses kreatif yang tak kenal henti akan selalu berjuang di arenanya untuk tidak pernah ‘ merasa lelah ‘. Senantiasa memadukan intelektualitas, pengalaman hidup ( lahir batin ), keterampilan ‘ mengendalikan ‘ kebahasaan dengan segala perniknya, kemudian membingkai motivasi diri. Semoga

Terbit di Radar Banjarmasin, Minggu 18 Maret 2007 Ingin mengetahui puisi-puisi cinta Arsyad Indradi selengkapnya ? klik Antologi Puisi Cinta Romansa Setangkai Bunga yg terdapat di Daftar Isi

Sabtu, 08 November 2008

Sejarah Perkembangan Kota Banjarbaru

Sabtu, 8 Nov 2008 sekitar jam 12.00, saya kedatangan tamu siswa – siswa SMA Telkom Banjarbaru kelas IX ( 6 orang ), di rumah saya jalan Pramuka Banjarbaru. Maksud kedatangan mereka adalah mewawancari saya tentang sejarah perkembangan kota Banjarbaru. Kegiatan ini dalam rangka tugas yang diberikan sekolahnya untuk menyusun makalah Tema Sejarah Perkembangan Kota Banjarbaru. Mereka sudah siap dengan sejumlah perangkat pertanyaan yang harus saya jawab dan lengkap dengan penjelasannya. Pertanyaan – pertanyaan itu dimulai dengan asal muasal Kota Banjarbaru, sektor kependudukan, geografis, agama, seni budaya, pendidikan, objek Pariwisata dan lain – lain. Dalam tulisan kecil ini saya hanya sedikit menyinggung yakni memaparkan mengenai asal muasal Kota Banjarbaru.

Pada tahun 60-an ada sebuah bukit yang terletak dipinggiran jalan lintas antara dari Hulu Sungai ke Banjarmasin. Perbukitan ini termasuk wilayah Kabupaten Banjar. Di bukit itu ada sebuah warung kecil yang menjual “ apam “ yakni kue yang terkenal di daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Warung ini selalu ramai dikunjungi oleh supir – supir truk pengangkut barang dagangan dan bus penumpang untuk beristirahat sambil menyantap “apam” tersebut. Perbukitan itu akhirnya terkenal dengan nama “ Gunung Apam”. Gunung Apam dan sepanjang jalan lintas tersebut adalah padang luas yang ditumbuhi “karamunting”, buahnya sebesar telunjuk bila masak warna merah kehitaman dan agak manis rasanya dan juga banyak tumbuh pohon karet yang tak terawat. Di bukit itu karena ramai maka tumbuh rumah – rumah sederhana pindahan dari penduduk Hulu Sungai dan dari Pulau lain terutama dari Pulau Jawa. Selang beberapa tahun Gunung Apam menjadi sebuah perkampungan, yang di beri nama “ Banjarbaru”. Semula ada dua pendapat penamaan kampung tersebut yaitu Banjarbaru dan Banjarpura. Tetapi penduduk dan tokoh masyarakatnya memilih nama Banjarbaru dengan alasan bahwa “ Banjarbaru “ bersifat netral sedang “ Banjarpura “ merupakan pintu gerbang apabila mau masuk ke wilayah Kabupaten Banjar. Menjelang akhir tahun 1960 Banjarmbaru menjadi Kota administratif yang masih masuk dalam Pemerintahan Kabupaten Banjar. Di Banjarbaru didirikan Kantor Perwakilan Gubernur Provinsi Kalsel dan Kantor Dinas-Dinas Provinsi Kalsel lainnya. Banjarbaru sedemikian maju pesat, baik sektor penduduk termasuk perumahan dan perkantoran yang tertata, ekonomi, Pariwisata, pendidikan, olah raga maupun seni budaya, bahkan dalam wacana akan dijadikan Kota Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tanggal 20 April 1999 Banjarbaru menjadi Kota Banjarbaru dengan pemerintahan otonomi. Banjarbaru sekarang ini sudah mencanangkan menjadi kota metropolis. ***** Arsyad Indradi ****

Selasa, 04 November 2008

HASIL LOMBA BACA PUISI DI MUSEUM LAMBUNG MANGKURAT

AUK-Komunitas Pecinta Seni Banjarbaru telah menggelar lomba baca puisi mingggu 2/10 bertempat di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru. Disamping untuk mengenang Hari Pahlawan 10 November 2008 juga bermaksud menumbuhkembangkan minat sastra khususnya baca puisi. Pagelaran itu diikuti oleh tiga kota Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura dengan jumlah peserta 104 orang ( siswa, guru, mahasiswa, dosen, seniman dan sastrawan ). Pemenang mendapatkan piala, piagam penghargaan, uang pembinaan dan bingkisan. Dalam lomba tersebut, dewan juri yang terdiri dari Arsyad Indradi, Ali Syamsuddin Arsyi dan Rudi Karno memutuskan pemenang I Andi Rifai, pemenang II Arif M S, pemenang III Isuur Loeweng dan pemenang harapan Eka Zulma. Acara ini didukung Dewan Kesenian Banjarbaru dan Pemerintah Kota Banjarbaru. Dalam kesempatan itu Ketua Dewan Kesenian Banjarbaru ( Ogi Fajar Nuzuli ) dalam kata penutup pagelaran baca puisi mengharapkan kepada Komunitas Pecinta Seni Banjarbaru agar setelah pagelaran ini mengadakan workshop atau pelatihan pembacaan puisi karena menurut dewan juri peserta lomba masih perlu pelatihan yang serius. Memang penyelenggaraan workshop baca puisi di Banjarbaru akhir-akhir ini belum teragendakan. Kalau bisa workshop di diadakan pada akhir tahun 2008 ini atau selambatnya Januari 2009 dan Dewan Kesenian Banjarbaru akan menudukung pinansilnya, lanjutnya. Seusai pembagian hadiah Teamwork AUK Hudan Nur ( ketua ), Dian Arlika, Riza Fahlivie, M. Yusry Wahyudi dan Miftahddin Munidi bersepakat akan melaksanakan kegiatan ini pada awal 2009 dengan pesertanya prioritas peserta lomba dan tidak menutup kepada yang berminat.

Minggu, 26 Oktober 2008

Dialog Sastra di Smada Banjarbaru


Menyambut bulan bahasa pd bln okt 2008 ini SMA N 2 Banjarbaru mengadakan Dialog Sastra, bertempat di aula sekolah tsb, jumat (24/10). Acara yg diikiuti siswa Jurusan Bahasa ini menghadirkan tiga pemateri, Arsyad Indradi, Sandi Ferly, dan Reza Pahlevi.

Arsyad Indradi yang dikenal sebagai penari dan penyair lebih banyak memberikan motivasi kpd siswa utk menekuni bidang sastra, penulisan puisi dan prosa (cerpen). “ Setahu saya, sekitar thn 2005 di Smada pernah ada siswanya yang menang dlm lomba penulisan cerpen tingkat pelajar dan mahasiswa. Saya kira ini menunjukkan bahwa siswa-siswa di Smada punya bakat di bidang sastra.” ujar Arsyad Indradi.

Menurut Arsyad, untuk menjadi seorang sastrawan itu tidak hanya diperlukan bakat. “ Yang utama adalah niat, kegigihan dan keberanian,” katanya. Tentu saja, lanjutnya, adalah proses belajar terus menerus.

Sementara Sandi Firly, redaktur Sastra Radar Banjarmasin, dlm paparannya tentang penulisan kreatif (cerpen) memberikan beberapa ‘jurus” dasar menulis sebuah cerpen. Disebutkan, diantaranya yakni penguasaan bahasa, memompa dan mengolah daya imajinasi. “ Selebihnya adalah proses membaca, belajar dan terus menulis,” terangnya.

Sandi juga mengatakan, bahwa sebuah cerpen itu semestinya harus menarik mulai dari judulnya. “ Dan salah satu kunci cerpen yang baik juga adalah menghindari pembuka cerita yang bertele-tele,” jelasnya.

Sedangkan Reza Pahlevi, penggiat kesenian di Banjarbaru, berbicara tentang musikalisasi puisi. “ Musikalisasi Puisi tidak sama dengan lagu. Tapi puisi yang diberi unsure-unsur musik dari instrumen -instrumen musik seperti gitar angin, suling, atau bunyi-bunyian seperti suara burung,” jelasnya.

Karena musikalisasi puisi berbeda dengan lagu, maka menurut Reza, dalam musikalisasinpuisi tidak ada istilah reff yang biasa terdapat dalam sebuah lagu. “Sedang untuk membuat musikalisasi puisi, diperlukan penafsiran terlebih dulu terhadap puisinya,”ujarnya.

Para siswa cukup antusias mengikuti jalannya dialog. Sebelumnya, pada pembukaan acara, Kepala SMAN 2 Chairil Anwar, M.Pd berharap agar kegiatan ini dpt memberikan pemahaman lebih dan memacu kreativitas siswa dalam belajar dan membuat karya sastra.”Diharapkan juga, kegiatan ini tidak hanya berakhir kali ini saja. Tapi juga akan terus berlanjut.”ujarnya.

Sedangkan Guru Bahasa dan Sastra Smada, Ibu Zuraida, yang menggagas kegiatan ini juga memiliki harapan kepada para siswanya untuk bisa belajar lebih banyak. “Bila di sekolah hanya diberi teori-teori, maka lewat dialog ini bisa mendengar langsung proses kreativitas penulisan karya sastra dari pelakunya,”kata dia.

Acara yang berlangsung dua jam lebih ini juga diselingi dengan pembacaan puisi. Yang menarik, juga ada madihin yang dibawakan oleh siswi Ervina (dif)**** Terbit di Cakrawala Sastra & Budaya Radar Banjarmasin, Minggu 26 Okt.2008.

Sabtu, 20 September 2008

MANTRA



Mantra adalah ujar-ujar yang merupakan sumber kekuatan spritual leluhur pusaka Banjar ( Kalimantan ). Pada hakikatnya mantra adalah suatu permohonan kepada yang Maha Kuasa yang disampaikan dengan ujaran yang khas dan dengan gaya bahasa yang khas pula dengan keyakinan yang penuh bagi penggunanya.

Namun pada zaman sekarang ini mantra mulai langka. Andai pun ada, pemilik mantra merahasiakan keberadaan mantra dan cuma segelintir orang yang memiliki mantra itu pun hanya merupakan warisan kepada keluarga dan orang – orang tertentu. Ini pun tergantung keyakinan pemiliknya.

Bagaimana kalau ditinjau menurut hadis Rasulullah SAW ?

Di zaman sebelum Islam, Umar bin Khatab adalah seorang yang pandai menggunakan suwuk ( mantra untuk pengobatan ). Ketika Umar masuk Islam hal tersebut dia tanyakan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Nabi meminta Umar untuk memperdengarkan mantra tersebut. Setelah mendengar, Nabi memberikan batasan sebagai berikut : Selama tidak syirik, silakan dipakai mantra tersebut.

Setelah masuknya agama Islam di Kalimantan, mantra mengalami perbaikan yakni sebelum membaca mantra didahului dengan ucapan “ bismillah “ dan di akhiri dengan “ berkat Lailahailallah Muhammadurrasulullah “

Ada beberapa jenis mantra menurut penggunaannya, yakni :

Mantra untuk pengobatan, matra kedigjayaan, mantra pekasih, mantra pagar diri dan mantra untuk mencelakai orang lain. Agar dapat mengetahui beberapa contoh mantra silakan : klik di sini

Minggu, 14 September 2008

MEMPERKENALKAN KAMUS BAHASA BANJAR KUALA

Kamus Bahasa Banjar Kuala ini menghimpun bahasa banjar yang dipergunakan oleh penduduk asli Banjarmasin, Pelaihari dan Martapura. Bahasa Banjar yang dipergunakan oleh suku Banjar ini sebenarnya terdiri dari Bahasa Banjar Kuala dan Bahasa Banjar Hulu Sungai. Perbedaan ini dapat diidentifikasikan adanya variasi – variasi dalam pengucapan atau perbedaan kosa kata, perbedaan pada bunyi ucapan terhadap fonem tertentu dan perbedaan lagu dan tekanan ( non distinctive ). Dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai lebih banyak dan komplek pemakaiannya dari pada dialek Bahasa Banjar Kuala. Dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai meliputi daerah – daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Balangan.

Ada beberapa contoh :

Perbedaan seperti pada kata : unda ( aku, saya ), nyawa ( kau, kamu ), dalam Bahasa Banjar Kuala tidak terdapat dalam Bahasa Banjar Hulu Sungai. Begitu pula seperti kata : padangan, padu (dapur ), balalah (berjalan) dalam Bahasa Banjar Hulu Sungai (BH ) tidak terdapat pada Bahasa Banjar Kuala (BK ).

Kemudian, perbedaan pengucapan fonem tertentu seperti pada kata :

BK : koreng --------- BH : Kuring --------- borok
BK : longor ---------- BH : lungur ----------- botak
BK : gemet ----------- BH : gimit ------------- pelan
BK : ujan -------------- BH : hujan ------------ hujan
BK : sedang ----------- BH : sadang ---------- sedang, cukup

Demikianlah gambaran sekilas Bahasa Banjar Kuala dan Bahasa Banjar Hulu Sungai. Semoga Kamus Bahasa Banjar Kuala yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengetahui Bahasa Banjar terutama Bahasa Banjar Kuala. Selengkapnya klik di sini***** Arsyad Indradi *****

Sabtu, 13 September 2008

Kesalahan ini jangan hanya dilimpahkan pada “ Mereka “

Terjadinya tawuran antar sekolah, beredarnya video mesum yang diperankan sepasang pelajar dan kenakalan remaja lainnya, jangan hanya dilimpahkan kesalahan ini kepada mereka, tetapi sekolah, orang tua dan pemerintah mestinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merefleksi diri mengapa semua ini terjadi. Ini disebabkan ada kemungkinan kesalahan dalam mendidik dan memberikan metode pendidikan, jauh dari perhatian orang tua pada anak – anaknya dan pemerintah tak mencukupi tempat penyaluran bakat dan potensi yang positif yang ada dalam diri mereka. Lebih – lebih lagi kita semua harus lebih bijak dan arif menangani perihal ini . Semoga ***

GEMAR MEMBACA

Mari kita renungkan hasil survei Bapak Taufik Ismail gemar membaca di SMU dr 13 negara :

1. Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku sastra selama 3 tahun.

2. Jepang dan Swiss menghabiskan 15 judul buku sastra selama 3 tahun

3. Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menghabiskan 5 – 7 judul buku sastra selama 3 tahun.

4. Indonesia = 0 buku.

Setelah melihat hasil survei tersebut, duhai begitu parahnya minat baca kaum generasi muda kita sehingga mereka tak pernah bersentuhan dengan buku – buku sastra meski bertahun – tahun menuntut ilmu di bangku pendidikan ! Apakah fenomena ini merupakan potret gagalnya pengajaran apresiasi sastra di sekolah ?

Jelas, perbaiki sistem pendidikan Indonesia !!!

Sebab, tingginya budaya membaca suatu bangsa merupakan cerminan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki

Sabtu, 06 September 2008

BANGKITKAN SEMANGAT CINTA TANAH AIR, HAI TKI


Harus kita sadari bahwa banyaknya migran yang datang dari negara lain akan menjadikan masalah yang cukup krusial dalam kelangsungan sosial politik sebuah negara. Dan adanya migran jelas merupakan bahaya ekspansi multidimensi bagi negara itu. Seperti halnya Malaysia yang menerapkan pro-natalis.

Bagaimana dengan migran TKI dari Indonesia ?. Inilah masalahnya. Bahwa, Indonesia dihadapkan pada “harga diri “ sebuah negara yang tak pernah beres menangani masalah kependudukan dan lapangan pekerjaan. Tapi kalau ada kemungkinan ketidakseriusan ini memang sengaja membiarkan TKI mengalir ke negara lain adalah upaya mengurangi bentuk kemiskinan dan berpendidikan rendah di Indonesia. Kalau anggapan ini benar ini namanya pemerintah taik anjing ! Dalam pemilu yang akan datang jangan lagi dipilih pemimpin taik anjing !

Selama ini nasib TKI Indonesia selalu ditimpa kesengsaraan, penderitaan, kepiluan dan lain-lain. Oleh karena itu, ini suatu peringatan dan pelajaran bagi TKI sendiri, lebih – lebih TKI ilegal. Masih kita ingat di Nunukan Kaltim, TKI yang diburu, digeledah, diuber-uber sampai terbirit-birit ke perkebunan di tengah belantara, ini disebabkan tidak mengindahkan batas waktu untuk dideportasi meninggalkan Malaysia.

Perlu diingat bahwa pengurusan tenaga kerja hanya menguntungkan agen-agen tenaga kerja saja ! Adakah TKI menjadi kaya setelah bekerja menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kasar di luar negeri ? Nonsen !. Malah menjatuhkan “martabat Bangsa Indonesia” ! Bagaimana pun juga kita adalah bangsa Indonesia dan Indonesia adalah tempat tumpah darah kita, kita harus mencintainya, kalau tidak siapa lagi ! Sebenarnya banyak pekerjaan di negeri kita sendiri, asalkan ada kemauan yang keras, ulet dan disertai dengan doa. Kita acung kedua jempol kepada para pemulung, tenaga kebersihan pengangkut sampah, penyapu jalanan dan pasar, pembantu rumah tangga dan banyak lagi pekerjaan yang halal lainnya.

Bangkitlah hai saudaraku TKI tanamkan kecintaan kita pada tanah tumpah darah Indonesia. Kita lahir di sini dan amat terhormat kita mati dan berkubur negeri sendiri. *** Arsyad Indradi ***

Jumat, 05 September 2008

BAB III,IV DAN V ANTOLOGI PUISI ”KALALATU” DLM SKRIPSI NOOR HANA


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode

Dilihat dari tujuan dan sifatnya, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode yang memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan menginterpretasikannya.

Sesuai dengan teori, kajian sastra khususnya puisi, mempunyai berbagai teknik pendekatan. Teknik pendekatan yang digunakan adalah pendekatan objektif dengan cara melukiskan sifat-sifat utamanya. Pendekatan ini digunakan karena pembahasan mengenai puisi dilepaskan dari siapa pengarang dan lingkungan sosial budaya zamannya, sehingga karya dapat dianalisis berdasarkan unsur-unsur utama yang membangunnya.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

1. Teknik kepustakaan, yaitu teknik dengan cara mengumpulkan bahan acuan yang dapat dijadikan sumber dalam menganalisis karakteristik puisi.

2. Membaca dan memahami puisi. Untuk memahami unsur-unsur utama puisi, maka yang pertama-tama dilakukan adalah membacanya, sehingga dapat mengetahui makna dan keterkaitannya secara keseluruhan. Hasil pemahaman ini dapat digunakan untuk menghubungkan atau menerapkan butir-butir yang telah dibahas pada Bab II dengan beberapa teks puisi pilihan dalam antologi “Kalalatu”.

3.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari antologi puisi Arsyad Indradi “Kalalatu” sebagai fokus utama kajian dan buku-buku yang relevan dengan masalah yang ingin dipecahkan.

TEKNIK ANALISIS DATA?