Lumpur Lapindo

Kamis, 09 Desember 2010

MENIKMATI PUISI PENYAIR KALIMANTAN SELATAN DI DUNIA MAYA

Bagian 1

Oleh Hamberan Syahbana

Kalimantan Selatan adalah salah satu provinsi yang subur bagi pertumbuhan dan perkembangan perpuisian. Sehubungan dengan hal tsb saya menganggap perlu berbagi pengalaman dalam menikmati puisi-puisi penyair tsb dalam essei Menikmati Puisi Penyair Kalimantan Selatan di Dunia Maya. Dalam essei bagian pertama ini kita akan menikmati 5 buah puisi dari 5 orang penyair Kalsel.
1. Puisi Kasidah Cinta karya Burhanuddin Soebely dari Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan
2. Puisi Mendulang Cahaya Bulan karya Arsyad Indradi si Pengair Gila dari Kota Banjarbaru
3. Puisi Suatu Ketika di Taman Cinta karya Jamal T. Suryanata dari Pleihari Kabupaten Tanah Laut Selanjutnya klik disini

Minggu, 05 Desember 2010

Sapu Haduk

Barikin salah satu desa di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini, penduduknya boleh dibilang sangat kuat memegang tradisinya. Terutama usaha memproduksi ”sapu haduk” sebagai mata pencaharian sehari-hari. Sapu haduk (sapu ijuk) yang bahannya mudah didapat yakni tak jauh dari lingkungan rumahnya yaitu pohon ”hanau” atau enau,.aren, kabung (Arenga saccharifera). Pohon hanau ini disamping menghasilkan gula aren juga ”rambut ” batangnya berupa ijuk diambil untuk bahan pembuatan sapu haduk atau juga pembuatan tali haduk. Bagi perajin sapu haduk punya cara yang khas dalam pengambilan ijuk dari batang hanau agar jangan sampai terhambat pertumbuhan hanau.itu. Disamping menghasilkan sapu haduk yang berukuran normal ada juga bentuknya lebih besar tapi tak seberapa banyak . Kalau saya menyebutnya bentuk yang besar ini ”sapu haduk raksasa”, Tangkai sapunya terbuat dari kayu bulat dengan ditatah secara sederhana kemudian dicat beraneka warna. Menjualnya biasanya bersama mainan anak-anak yaitu kuda-kudaan dan tali haduk berupa kedai di pingggir jalan ( depan halaman rumah pemiliknya). Orang-orang yang berkendaraan motor yang melintas baik dari Banjarmasin mau pun dari Hulu Sungai akan menyinggahi kedai ini untuk membeli sapu haduk. Sapu haduk ini sangat laris karena keperluan rumah tangga. Warung-warung di Kalsel yang menjual sapu haduk umumnya produk dari Barikin. Sapu haduk ini lebih bagus dan tahan lama dipakai dari pada sapu yang terbuat dari plastik (cepat keriting) yang datang dari Jawa. Menurut kepercayaan orang Banjar bahwa sapu haduk dan tali haduk ini berfungsi penangkal ”hantu” seperti ”kuyang”. Sungguh kita berbangga bahwa orang Banjar selalu memakai sapu haduk sehingga produk tradisional Banjar ini tetap lestari *** Arsyad Indradi


Selasa, 30 November 2010

Kuda-Kudaan Kerajinan Rakyat Barikin

Barikin adalah salah satu Desa dalam wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Walau pun globalisasi terus bergulir dengan dahsyatnya namun bagi rakyat Barikin tradisi turun temurun masih erat dipegang tanpa pernah longgar. Tradisi ini adalah memproduksi mainan anak-anak yakni "kuda-kudaan" dari bahan kayu yang relatif murah dan dikerjakan secara manual, tapi sungguh luar biasa menariknya,tak kalah dengan mainan produksi pabrikan. Mainan Kuda-Kudaan ini dijual disepanjang tepi jalan (di halaman rumah pemiliknya ). Setiap hari mobil yang melintas baik dari arah Banjarmasin mau pun dari Hulu Sungai yang paling hulu, ada saja yang turun membeli mainan ini. Sangat menggembirakan adalah pembelinya ada juga ibu-ibu pejabat atau orang-orang kaya. Harga seekor kuda ini mudah terjangkau,kudanya kuat tahan bantingan,warnanya beragam dan menarik,pokoknya artistiklah. Aku pikir andaikata mainan kuda-kudaan ini merupakan salah satu mainan di sekolah Taman Kanak-kanak di Kalsel ini akan lebih membantu ketangkasan bagi anak-anak TK, dan juga pemerintah daerah ikut menujnang dan melestarikan kelangsungan hidup usaha kerajinan rakyat ini. Apa kabar Bapak Gubernur,Bapak Bupati dan Walikota, Dinas Pendidikan, Dinas Perindak, Dinas Porbudpar, apakah pernah singgah di kedai “kuda-kudaan “ Barikin ?** Arsyad Indradi.



Kamis, 25 November 2010

PELAJARAN SENIBUDAYA SEKOLAH MENENGAH DI KALSEL MEMPERIHATINKAN.

Sejak dulu sampai sekarang sekolah menengah di Kalsel sangat sedikit memiliki guru mata pelajaran seni budaya, sehingga mata pelajaran Seni Budaya banyak diberikan kepada guru yang bukan faknya. Jadi wajar jika guru tersebut sering mendapat kesulitan untuk membimbing, memberi contoh dalam praktik mata pelajaran tersebut. Apa lagi jarang sekali ada penataran, workshop atau pelatihan.. Tetapi ada juga sekolah yang maju seni budayanya walau pun mata pelajarannya dipegang oleh guru mata pelajaran lainnya, karena guru tersebut.menyenangi seni dan selalu bergaul dengan pakar seni atau seniman, rajin mengikuti setiap perubahan kurikulum, aktif menyusun RPP. Kepala sekolah dan orang tua murid ikut membantu dan menunjang keperluan kemajuan seni budaya di sekolahnya.Selanjutnya klik disini

Minggu, 14 November 2010

Kritik Sang Penyair Gila

Cuplikan Harian Media Kalimantan, 9 Nov 2010.
........................................................
Salah satu seniman yang getol menyuarakan isu lingkungan ini adalah Arsyad Indradi. Ia cukup dikenal luas di kalanagn seniman, baik tingkat daerah maupun nasional. “ Saya sudah merasakan adanya ketidakbersahabatan alam dengan manusia itu yang membuatnya menciptakan puisi dengan judul : Tafakur Memandng Waduk Riam Kanan”. Puisi tersebut pernah dibacakan pada sebuah even di halaman Kantor Pemkab.Banjar tujuh tahun lalu,namun tidak ada tanggapan. “Saya sebenarnya hanya memperingatkan bukan mengkritik”, ungkap Arsyad kepada MK dalam perbincngan ringan di kawasan Lapangan Murjani Banjarbaru,Senin (8/11 hendra).

Tafakur Memandang Waduk Riam Kanan

memandang permukaan wajahmu begitu tenang
langit yang terapung di atas membiaskan spektrum
kehidupan dan mengalir dari bibir bendunganmu
gemuruh di tubuh sungai
entah berapa kampung, dusun, kebunkebun, ladangladang
dan hutanhutan yang merelakan kau lahir
dengan sempurna di lembahlembah hijau
gununggunung yang menopang tubuhmu
dari segenap penjuru yang tak pernah terdengar keluh
dan orangorang tak pernah sepi datang ke sini
menimba kehidupan yang kau berikan
aku memandang pucukpucuk pinus yang berderai
entah apa terbaca hatimu
semacam memendam ribuan rahasia yang belum pernah
siapa pun mau menerjemahkannya
atau orangorangkah yang tak mau jauh berpikir sampai ke sana
tahunketahun senantiasa musim tak menentu
yang selalu lepas dari prakiraan cuaca
dan sungguh kau semakin merenta jua
guratanguratan semakin nampak di keningmu
karena lukaluka ini semakin menganga
aku pernah mengingatkan hal ini kepada orangorang
seperti yang pernah kau ajarkan padaku
tapi mungkin kepercayaan ini begitu purba
di halayak zaman penuh pesona
masih juga wajahmu begitu tenang
tapi ombakombak di wajahmu terus juga melayarkan
bayangbayang kegelisahanku
pada bendunganmu yang meneteskan darah di mataku
dan gemuruh di tubuh sungai
meluap sampai kesegenap penjuru
karena gunung tak berhutan lagi
bukitbukitbatu telah menjadi material jalanan
rumah pemukiman atau gedunggedung bertingkat
membayangkan kau tak mampu lagi menampung
guyuran hujan yang berkepanjangan dan loncatan air
dari lerenglereng perbukitan sedang bendunganmu
kian keropos dimakan zaman
membayangkan peristiwa duka yang tak hentihenti
entah berapa kampung dusun bahkan kota ini
dengan penghuninya akan musnah tiada tersisa
dalam muntahan bendunganmu yang teramat mengerikan
membayangkan sebuah kota yang bernama serambi mekah
dalam riwayat yang menyedihkan

masih tersimpan dalam ingatan
sebuah tangis pertama ketika kau lahir
menulis hari kelahiranmu di tebingtebing gunung
dan menulis perhentian hidupmu di lembahlembah
langit dan pepohonan hijau dan bukitbukit batu
saksi sejarah dari sumber hidup dan kehidupan
tapi juga sumber dari petaka
orangorang selalu meratap setelah bencana
tapi adakah yang peduli mengapa terjadi bencana
setiap aku memandang permukaan wajahmu yang biru
dengan segala pinusmu yang belederu
Tuhan sesungguhnya kau tak ada niatan murka pada negeriku


Banjarbaru, 2001

Rabu, 29 September 2010

BUDAYA MEMBACA CABUT RASA TAKUT KEBEBASAN

Oleh: HE. Benyamine

Menulis sangat mudah sebagaimana beberapa buku tentang penulisan yang memberi motivasi, sebenarnya mengasumsikan suatu keadaan dimana masyarakat telah hidup dalam budaya membaca. Membaca adalah kebutuhan pokok. Pendidikan lebih cenderung didekati dengan pendekatan pendidikan orang dewasa (andragogi), selain pendekatan pedagogi yang berlangsung saat ini. Sehingga, penekanan yang sering muncul adalah budayakan membaca; sebagai syarat yang sangat penting untuk mudah menulis. Budaya membaca inilah yang menjadi tantangan dalam penerapan isi buku-buku tentang motivasi menulis tersebut, yang perlu didengungkan dan didorong tumbuh berkembangnya budaya membaca.
Berdasarkan beberapa hasil riset sebagaimana diungkapkan Dr. Stephen D. Krashen bahwa kita belajar menulis lewat membaca, yang menunjukkan betapa pentingnya mambaca dalam memudahkan untuk menulis, karena membaca merupakan perbuatan menulis di otak. Hal ini juga tergambar dalam bukunya Jean-Paul Sartre, Kata-Kata (2000), dimana membaca sudah dibudayakan oleh keluarganya, terlebih kakeknya yang selalu memberikan berbagai buku dan tulisan, sehingga saat pertama menulis Sartre merasa sebagai plagiat karena banyak tulisan yang mengendap di otak dari hasil bacaan yang membudaya.
Budaya membaca para pendidik (dosen/guru) tentu sudah seharusnya telah berkembang, sebagai kelompok masyarakat yang senang membaca dan menjadi kebutuhan, sehingga dapat menularkan pada anak didiknya. Sudah seharusnya, kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai pendidik ini sudah berada dalam budaya membaca, sehingga kegiatan membaca sudah menjadi habit sebagaimana setiap hari melakukan kegiatan mengajar. Buku-buku yang memotivasi menulis menjadi penting dibaca oleh kalangan pendidik dan peserta didik, yang tidak perlu (harus) diikuti adalah gaya penulisannya. Melalui buku-buku motivasi penulisan tersebut, sangat jelas tergambar bagaimana pentingnya budaya membaca, yang menjadi syarat penting dan utama dalam menjadikan kegiatan menulis sebagai kebiasaan (habit) sebagaimana didefinisikan Stephen Covey sebagai titik pertemuan antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan keinginan (desire).
Harapan mempunyai kemampuan menulis sangat mudah, tidak serta merta dapat diperoleh hanya dengan membaca buku-buku tentang menulis, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana sebab-sebab yang diuraikan dalam buku tersebut hingga bisa menulis sangat mudah yang perlu menjadi perhatian dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan perbuatan berdasarkan harapan (raja’) lebih tinggi kedudukannya daripada perbuatan berdasarkan takut (khauf), sebagaimana Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin ungkapkan, yang menegaskan bahwa sebab-sebab yang menguatkan kepada harapan tersebut harus dijaga dan dijalani, karena bila sebab-sebab tersebut hilang maka harapan tersebut tidak ubahnya sebuah angan-angan belaka. Tentu saja sebab-sebab yang menguatkan harapan dalam mudah menulis adalah budaya membaca, yang harus dijaga dan dijalani sebagai budaya.
Membangun kesadaran tentang potensi diri, sebagaimana gagasan Paulo Freire tentang pendidikan yang benar-benar membebaskan, yang mencabut parasit adanya perasaan takut kebebasan (fear of freedom) dalam masyarakat, juga merujuk pada budaya membaca. Jika budaya membaca tidak ada, maka sistem pendidikan apapun akan menjadikan orang terjebak pada sikap fanatik dan tertanam dalam bangunan yang menindas tapi tidak mau keluar karena takut keruntuhannya. Sehingga, perasaan takut kebebasan (fear of freedom) masih menjadi penghambat yang laten, yang memang sangat sulit untuk didobrak.
Jadi, menulis sangat mudah merupakan pernyataan yang benar namun bergantung pada syarat penting akan budaya membaca. Kemudahan dalam menulis merupakan suatu proses yang panjang dan kerja keras, yang diikuti oleh berkembangnya budaya membaca pada diri seseorang. Banyak orang yang setelah membaca buku tentang motivasi menulis langsung tercerahkan, dan berpikiran bahwa menulis itu memang mudah, sebagaimana mudahnya membaca buku tersebut, tetapi tanpa melihat apa yang menjadi sebab kemudahan itu hanya membuat orang terbuai. Sudah seharusnya profesional pendidik (dosen/guru) untuk terlibat mendobrak tembok perasaan takut kebebasan dalam masyarakat, dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya membaca.

(Radar Banjarmasin, 12 April 2010: 3)

Jumat, 07 Mei 2010

MUSEUM SEBAGAI SALAH SATU SARANA UNTUK MENGEMBANGKAN MUATAN LOKAL

Oleh : Drs. Sirajul Huda HM

Pada sebuah seminar ada salah seorang peserta yang juga adalah seorang guru pada sekolah menengah mengemukakan bahwa pada saat ini banyak para murid sekolah yang sudah tidak peduli lagi terhadap budayanya sendiri. Mereka lebih mengenal siapa itu tokoh Peterpan, Raja, atau Padi dari pada siapa Anang Ardiansyah, Ajim Ariyadi,Syamsiar Seman, Bachtiar Sanderta, Ajamudin Tifani, Hijaz Yamani, Justan Aziddin, Rustam AA, Arsyad Indradi dan banyak seniman daerah Kalsel lainnya. Padahal mereka-mereka inilah sebenarnya yang menjadi tokoh musik, teater dan sasterawan di banua Banjar ini. Jauh sebelum lahirnya Ariel. Ian Kasela dan yang lainnya, Anang Ardiansyah sudah berjaya mempopulerkan lagu-lagu Banjar lewat Orkes Rindang Banua dan Anataria. Ketika Rendra masih menjadi crew panggung Ajim Ariyadi sudah menjadi pemeran utama dalam pergelaran teater di Yogyakarta. Apalagi kalau kita berbicara masalah kesenian tradisional kepada generasi muda. Bagi generasi muda hal semacam itu dianggap kampungan, sudah bukan zamannya lagi. Zaman telah berubah kita harus mengikuti perkembangan zaman. Sementara itu diakui atau tidak memang sedikit sekali para budayawan di daerah yang mau menulis tentang budaya kita. Mereka berpendapat bahwa menulis untuk apa kalau tidak bisa diterbitkan. Walaupun dapat diterbitkan kemana mereka harus menjual, sementara sekolah untuk membeli buku harus dari penerbit yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ironis memang. Disatu sisi sekolah memang memerlukan untuk kepentingan muatan local disisi lain buku-buku untuk menunjang proses belajar mengajar untuk muatan local tidak mudah untuk didapatkan.
Kalau sudah demikian apa yang dapat dibanggakan oleh banua kita ini. Hutan sudah gundul, sungai sudah keruh dan kian punah oleh karena pembangunan fisik yang tidak terkendali. Batubara habis dikeruk untuk melayani syahwat kapitalisme, sedangkan budayanya tercerabut dan tercabik-cabik dari pola pikir, perasaan dan pola laku sebagian besar dari pendukungnya. Berbeda dengan masyarakat Jepang yang walaupun ternasuk dalam Negara yang modern namun sikap dan pandangannya terhadap budaya tradisional tidaklah luntur.
Mereka sadar bahwa sejarah perjuangan hidup bangsanya mewarisi kultur unggul kepada generasi mudanya. Lewat kebudayaan inilah bangsa Jepang bisa jadi jaya. Kabuki yang telah berumur ratusan tahun masih digelar dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Upacara minum teh masih terpelihara hingga saat ini. Masyarakat Jepang banyak yang bepergian keluar negeri dan ini memang dianjurkan oleh pemerintahnya. Tapi apa yang dibawa mereka kembali kenegaranya. Tidak lain adalah produk-produk mereka sendiri.
Bagaimana dengan bangsa kita atau kita persempit dengan masyarakat di daerah kita. Karena banyak termakan iklan di televisi khususnya anak-anak muda, mereka merasa tidak lagi keren kalau tidak memakai levis atau merasa tidak gaul kalau tidak biasa memakan pizza.
Untuk mengenalkan kembali budaya, khususnya budaya daerah salah satu anternatifnya adalah “museum”. Museum merupakan jendela budaya daerah di mana museum tersebut berada. Setiap orang asing yang datang mereka pasti mempertanyakan dimana museum, karena dengan melihat museum mereka akan lebih mengenal budaya daerah setempat.
APA ITU MUSEUM.
Museum adalah sebuah lembaga permanent non profit dalam pelayanan masyarakat dan pengembangannya, terbuka untuk public (umum), dimana pengadaan, konservasi, penelitian, penyajian (koleksi), hanya untuk study, pendidikan dan kesenangan (rekreasi) dan mengenai bukti material manusia dan lingkungannya.
Selain itu museum merupakan suatu tempat penting bagi pelestarian benda budaya dan alam yang dijadikan koleksi, di rawat, di jaga dan disajikan bagi kepentingan umat manusia sekarang dan masa yang akan datang.***

Jumat, 30 April 2010

Penerbitan Buku : Arsyad Indradi Melakoni Tradisi Ribuan Tahun

Esai: A.Kohar Ibrahim

FACE Book. Medio Oktober 2009, Batam, aku terima kiriman buku dari Banjarbaru Kalsel. Kongkretnya 5 buku hasil aktivitas-kreativitas seniman penulis penyair Arsyad Indradi, kelahiran Barabai 31 Desember 1949 dan yang mendapat julukan: Penyair Gila.

“Gila memang,” kesanku begitu, dalam makna memaknai ke-luar-biasa-annya. Aku amat terkesankan oleh fakta fenomenal. Bahwa dalam millennium ketiga ini, di Nusantara, ada seorang penulis yang sedemikian rupa idealismenya demi melestarikan bukti kepenulisan diri sendiri maupun orang lain. Demi membuktikan sumbangannya bagi kekayaan kesusastraan Indonesia dan Dunia. Selanjutnya klik disini

Jumat, 05 Maret 2010

Puisi Arsyad Indradi : Kwatrin Rindu


Kwatrin Rindu

Hai datanglah yang menjadikan
aku duka
Tapi jangan kau usik lagi rinduku
Alir nafas mengalir asmamaha
muara kasih sayang
Dimana tempat kan berajal

kssb,2010

Jumat, 22 Januari 2010

PUISI, ESTETIKA DAN MASYARAKAT

Abdul Hadi W. M.

Saya minta maaf sebesar-besarnya kepada panitia oleh karena tidak dapat menumpukan pembicaraan kepada antologi yang dikirim kepada saya untuk dibahas dalam pertemuan ini. Alasannya sederhana, antologi tersebut baru saya terima seminggu sebelum saya berangkat ke Banjarmasin. Sungguh tidak mungkin saya dapat membaca antologi yang berisi lebih dari 100 sajak itu dalam waktu singkat. Kesibukan mengajar yang padat dalam hari-hari menjelang akhir semester juga merupakan halangan tersendiri untuk membaca antologi tersebut dengan penuh perhatian. Sebagai gantinya saya pilih topik yang ligkup pembicaraannya lebih luas dan umum.Kendati demikian saya akan berusaha tidak melepaskan tanggung jawab saya meyinggung sajak-sajak dalam antologi yang diterbitkan panitia.Lanjutkan Klik disini

Puisi Arsyad Indradi : Rawi Meratus


Rawi Meratus

Tak pupus asap kemenyan
Rohroh pada bangkit dari tujuh liang gua batu
dari tujuh talikan akar sungsang
Surup melayat hutan melayat gunung
Sayatan tangis karariang tak teduhteduh
Balai tak mampu lagi menyimpan patung sunyi

Disini asal mula tulisan rawi kematian itu
Tapi setelah sekian waktu jadi meranggas
Lalu menjadi sebuah dongeng



Maka tak perlu lagi
membiar risau
meratus makan kembang ilalang
membiar resah
jalan setapak turun ke guntung
membasuh mimpi
Sesungguhnya guntung telah kehabisan airmata

Dan tak perlu lagi berulang membaca rawi itu
Tapi bangkitkan roh rawi nenek moyang
dimana membangun sebuah benua

Banjarbaru,2010

Catatan :
Talikan = sejenis pohon beringin
karariang = sejenis lalat besar ( gangsir)
guntung = anak sungai

Sabtu, 16 Januari 2010

Nyanyian Laut


Arsyad Indradi

Nyanyian Laut

Hanya kepada laut mencurahkan suratan hidup
Angin pantai selatan tak pernah diam menakbirkan gemuruh ombak seluasluas laut
Manakala senja dan burungburung pada pulang
Dan nyanyian sunyi selepas ombak di pantai
Meronce buihbuih sepanjang semenanjung
Dari riwayat pelayaran yang panjang

Tak pernah takluk pada takdir
Sebab masih jauh di balik anganangan
Sebelum matahari terbenam dan bintangbintang berjatuhan pada malam
tahukah kau aku menyerumu sampai pada ujung yang paling penghabisan
Kulminasi karang pada sonder suara menatap merahnya cahya di ufuk
Menafsir kemana awangemawan akan beranjak

Daundaun nyiur pada pohon berkakuan
Kudesaukan sehabishabis angin kembara
Hopla gemuruh
Gemuruh seleluasa ombak mengejarmu
Kaki langit tak risau tak pantang gemulung resah biru laut birunya kalbu merah ufuk merahnya darah jiwa berbuncah
Hanya kepada laut
Kulayarkan segala rindu

Banjarbaru,2010