Lumpur Lapindo

Minggu, 14 November 2010

Kritik Sang Penyair Gila

Cuplikan Harian Media Kalimantan, 9 Nov 2010.
........................................................
Salah satu seniman yang getol menyuarakan isu lingkungan ini adalah Arsyad Indradi. Ia cukup dikenal luas di kalanagn seniman, baik tingkat daerah maupun nasional. “ Saya sudah merasakan adanya ketidakbersahabatan alam dengan manusia itu yang membuatnya menciptakan puisi dengan judul : Tafakur Memandng Waduk Riam Kanan”. Puisi tersebut pernah dibacakan pada sebuah even di halaman Kantor Pemkab.Banjar tujuh tahun lalu,namun tidak ada tanggapan. “Saya sebenarnya hanya memperingatkan bukan mengkritik”, ungkap Arsyad kepada MK dalam perbincngan ringan di kawasan Lapangan Murjani Banjarbaru,Senin (8/11 hendra).

Tafakur Memandang Waduk Riam Kanan

memandang permukaan wajahmu begitu tenang
langit yang terapung di atas membiaskan spektrum
kehidupan dan mengalir dari bibir bendunganmu
gemuruh di tubuh sungai
entah berapa kampung, dusun, kebunkebun, ladangladang
dan hutanhutan yang merelakan kau lahir
dengan sempurna di lembahlembah hijau
gununggunung yang menopang tubuhmu
dari segenap penjuru yang tak pernah terdengar keluh
dan orangorang tak pernah sepi datang ke sini
menimba kehidupan yang kau berikan
aku memandang pucukpucuk pinus yang berderai
entah apa terbaca hatimu
semacam memendam ribuan rahasia yang belum pernah
siapa pun mau menerjemahkannya
atau orangorangkah yang tak mau jauh berpikir sampai ke sana
tahunketahun senantiasa musim tak menentu
yang selalu lepas dari prakiraan cuaca
dan sungguh kau semakin merenta jua
guratanguratan semakin nampak di keningmu
karena lukaluka ini semakin menganga
aku pernah mengingatkan hal ini kepada orangorang
seperti yang pernah kau ajarkan padaku
tapi mungkin kepercayaan ini begitu purba
di halayak zaman penuh pesona
masih juga wajahmu begitu tenang
tapi ombakombak di wajahmu terus juga melayarkan
bayangbayang kegelisahanku
pada bendunganmu yang meneteskan darah di mataku
dan gemuruh di tubuh sungai
meluap sampai kesegenap penjuru
karena gunung tak berhutan lagi
bukitbukitbatu telah menjadi material jalanan
rumah pemukiman atau gedunggedung bertingkat
membayangkan kau tak mampu lagi menampung
guyuran hujan yang berkepanjangan dan loncatan air
dari lerenglereng perbukitan sedang bendunganmu
kian keropos dimakan zaman
membayangkan peristiwa duka yang tak hentihenti
entah berapa kampung dusun bahkan kota ini
dengan penghuninya akan musnah tiada tersisa
dalam muntahan bendunganmu yang teramat mengerikan
membayangkan sebuah kota yang bernama serambi mekah
dalam riwayat yang menyedihkan

masih tersimpan dalam ingatan
sebuah tangis pertama ketika kau lahir
menulis hari kelahiranmu di tebingtebing gunung
dan menulis perhentian hidupmu di lembahlembah
langit dan pepohonan hijau dan bukitbukit batu
saksi sejarah dari sumber hidup dan kehidupan
tapi juga sumber dari petaka
orangorang selalu meratap setelah bencana
tapi adakah yang peduli mengapa terjadi bencana
setiap aku memandang permukaan wajahmu yang biru
dengan segala pinusmu yang belederu
Tuhan sesungguhnya kau tak ada niatan murka pada negeriku


Banjarbaru, 2001

Tidak ada komentar: