Pada artikel pertama yang bertajuk 2008: Bukan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bahwa Kebangkitan Nasional itu berangkat dari pemahaman terjadinya pada tahun 1908 yakni berdirinya organisasi Boedi Oetomo (BO) pada 20 Mei 1908. Ini sungguh memilukan. Sebab BO sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak berdiri di atas paham kebangsaan, melainkan paham chauvinistis sempit di mana hanya orang Jawa dan Madura yang boleh menjadi anggota, sama sekali tidak menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa asal dari bahasa Indonesia karena di dalam rapat-rapat resmi maupun di dalam anggaran dasar maupun anggaran rumah tangganya BO mempergunakan bahasa Belanda. Selanjutnya dalam artikel tersebut mengungkapkan bahwa BO mendukung status-qou yang berarti mendukung penjajahaan Balanda atas Bumi Pertiwi ini. Para tokoh BO merupakan tokoh-tokoh Freemasony bentukan Belanda ( Vritmejselareen ). Jelas, tanggal pendirian BO sama sekali sangat tidak pantas dan tidak berhak dijadikan momentum Hari Kebangkitan Nasional.
Pada artikel kedua bertajuk 20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional. Saya lebih tercengang lagi. Dalam artikel tersebut lebih lanjut mengungkapkan bahwa, di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan. Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ” Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.
Selanjutnya memaparkan, bahwa Hari Kebangkitan Nasional
Setelah membaca kedua artikel ini, menjadikan hati saya tercenung. Hemat saya, Seyogyanyalah Pemerintah bersama pakar sejarah dan pengamat sejarah sesegranya meninjau atau meneliti kembali khususnya tentang Hari Kebangkitan Nasional ini dan umumnya hari-hari besar Nasional lainnya. Sebab kita ingin bangsa dan Negara
Arsyad Indradi (http://arsyadindradi.blogspot.com)
4 komentar:
Wah. Kalau ternyata apa yang dipaparkan bahwasnya yang sentimen kesukuan itu benar. Maka negara ini tidak layak lagi dipertahankan.
Lebih baik antarpulau jadi negara negara saja. Karena buat apa jadi NKRI kalau hari kebangkitan Nasionalnya saja merupakan peringatan fanatisme kesukuan. Bukan nasionalisme.
Namun memang masih belum terbukti sepenuhnya, namun kalaupun ada bukti. Saya malahan pesimis pemerintah mau mengungkapkan fakta. Apapun itu faktanya.
Wahhhhh... kalo di kalimantan timur, udah lama pengen jadi negara sendiri... habisnya capeeekkkk.. 80% minyak, gas, batu bara di ambil pusat. Kita cuma dapet 20% trus dicuekinnnn ( Huh...Bunda sok ngerti yach..wakwkakak)
Benarkah???
Benaarrr, dari dulu Indonesia ga bangkit-bangkit deh perasaan...
-__-
Trus gimana dhonk Ooom...mengajarkan ke anak-anak di rumah untuk mencintai tanah air Indonesia Jaya klo' semua serba kabur baca buram gitu hehe...... saya beneran lagi bingung deh..apalagi mereka besar diluar negeri sementara "khubul wathon minal iman" makasih ya Oom..artikel yang menggugah..nice...
Posting Komentar