Lumpur Lapindo

Selasa, 24 November 2015

Menggali Nuansa Kataknya Matsuo Basho


: Arsyad Indradi

Haiku merupakan puisi yang berasal dari Jepang dan tumbuh di Indonesia, adalah salah satu kegiatan kreatif karya seni yang mampu  mengekspresikan kesadaran orang akan suatu pengalaman dengan diksi yang ditata dengan cermat dan mampu disampaikan dengan 17 suku kata, berpola 5 – 7 -5 dalam tiga baris sebagai seni yang indah.

Pada awalnya haiku adalah renga yang memiliki pola 5 – 7 – 5 – 7 – 7 yang populer pada abad ke 17. Namun dalam perkembangaannya penyair-penyair Jepang merasa jenuh menulis puisi yang panjang dan dipaksa menurut pakemnya. Maka banyak yang suka menulis puisi dengan mengambil pembuka dari renga itu yaitu pola 5-7-5 dan seterusnya populerlah yang dinamakan hokku atau haiku.
Salah satu penyair Jepang yang bergiat haiku pada waktu itu adalah Matsuo Munefusa tetapi terkenal dengan nama Matsuo Basho. Dia dilahirkan pada tahun 1644 di Ueno di daerah yang terletak di propinsi Iga.

Nama tersebut diberikan oleh muridnya karena disekitar pondok kecil tempat Matsuo Basho banyak  tumbuh pohon pisang. Dalam bahasa Jepang, Basho diartikan sebagai “ pohon pisang “. Sehingga nama Basho merupakan julukan yang diberikan oleh orang – orang di sekitarnya.
Basho  wafat pada November 1694 pada usia 50 tahun. Banyak karya haiku yang ditulis Matsuo Basho, salah satunya yang sangat terkenal adalah haiku “katak” nya.

Ada beberapa versi terjemahan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kita ambil salah satunya.

Furuike ya                             
Kawazu Tobikomu               
Mizu no oto 

old pond
a frog leaps in
water’s sound

Sebuah kolam tua
seekor katak melompat ke dalamnya
plung

Membaca dan menghayati haiku “katak”nya Basho ini sangat terasa suasana lingkungan yang hening. Sunyi senyap. Yang diciptakan oleh “kireji” baris ketiga yaitu diksi  “plung”.
Kalau kita simak dan kita teliti di batang tubuh haiku “katak” ini, Basho tidak menggunakan “kigo” sebagai penanda musim atau pun penanda waktu, tetapi Basho memanfaatkan “Sabi” yakni nuansa ketenangan, dan keindahan dari kesunyian.

Basho menerapkan nilai “zen”. Di mana pada waktu itu Basho di bawah arahan Bucho, seorang pendeta Zen yang tinggal di kuil Chokeji.

Dalam hemat saya walau Basho tidak menggunakan kigo sebagai penanda musim atau pun penanda waktu, namun sabi dimanfaatkan sebagai kigo yakni penanda nuansa.

Demikian sekilas tentang haiku “katak”nya Basho yang sungguh pandai menciptakan suasana kekeningan dan kesunyian yang indah.

Semoga bermanfaat
Salam Haiku Indonesia.