Lumpur Lapindo

Selasa, 24 November 2015

Mengapa risau terhadap Kigo di Haiku ?


: Arsyad Indradi

Mengapa keberadaan kigo  yang sebagian orang sering dijadikan alibi, yang beranggapan bahwa haiku itu terkesan monoton, datar,  kaku  dan  kurang keindahan gaya ungkapnya.  Coba sebentar kita melirik terhadap pantun. Apakah sampiran pada pantun itu monoton atau terkesan kaku ? Apakah jadinya kalau pantun tidak bersampiran ? Juga apa jadinya kalau syair tidak memiliki rima yang sama ? Kembali kepada haiku yang banyak orang perbincangkan tentang kigo. Pendapat saya kigo memang mutlak karena kigo merupakan ciri haiku. Kireji juga ciri haiku. Nah apa perlu kita menjadi risau ? Sesungguhnya ini tergantung sipenulis haiku itu sendiri. Apakah ia memahami ,pandai, terampil terhadap kigo yang merupakan mutlak pada haiku. Penanda musim di Jepun berbeda dengan penanda musim di Indonesia. Di Jepun mengenal musim semi dan musim rontok (gugur,salju). Di Indonesia mengenal musim hujan dan musim kemarau. Bahkan banyak sekali sub penanda musim itu di Indonesia. Walua pun di Indonesia tidak ada memiliki saijiki (daftar tentang musim) seperti di Jepun, namun kita mengetahui di Indonesia ada musim hujan dan musim kemarau dengan beberapa sub kigonya antara lain :
- Penanda waktu misalnya pagi, siang, sore, malam, dini hari,senja.
- Penanda alam misalnya hewan, ungags dan serangga.
- Penanda momen-momen seperti hari raya, hari besar, hari peringatan.
- Penanda peristiwa budaya, suasana (periodik) seperti pesta layang-layang, Agustusan, serba baduy, Muludan, Ramadhan, musim akik, Seren Taun dan lain-lain.
Jadi dengan demikian bagi saya tentu tidaklah menjadikan risau terdahap terhadap kigo.

Lalu bagaimana menuliskan haiku yang mesti ada kigo itu ? Kita pun jangan risau sebab kita bisa kita tuliskan secara :

Kigo yang implisit dan kigo secara eksplisit.
- Kigo implisit seperti tongrek berbunyi (penanda musim kemarau), lelewa terbang (penanda malam), suara kodok ( penanda musim hujan ), Sumpah Pemuda (penanda suatu momen), embun menetes (suasana pagi), surya tenggelam (penanda waktu senja), Fajar menyingsing ( penanda dini hari/pagi) bunyi burung hantu ( malam sunyi ) dan lain-lain.
- Kigo yang eksplisit, seperti malam sunyi, panas menggantang, hujan turun, gerimis pagi dan lain-lain.
Sebagai contoh :

Haiku yang kigonya secara implisit :

Cahaya bulan
Mekar bunga flamboyan
Di dalam taman

Haiku yang kigonya secara eksplisit :

Malam gulita
Membentang tirai hujan
Kota terlelap

Jadi kesimpulannya, tergantung kepada si penulis haiku itu sendiri  untuk memahami,pandai dan  terampil terhadap kigonya.
Mengapa meski risau ?


Tidak ada komentar: