Lumpur Lapindo

Jumat, 06 Februari 2009

Sastra Sufi, Sastra Psikoterapi

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Dunia sastra memang unik, dia menampung beraneka citarasa yang terbenam dalam pikiran manusia. Berbagai citarasa itu kemudian terhampar dalam ekspresi dialogis dalam relasinya dengan realitas di lapangan. Seorang sastrawan sebenarnya merupakan juru bicara zamannya, entah dia gelisah, kecewa, sedih ataupun justru terpesona dan menjadi supporter zaman tempat dia hidup.
Beraneka ragam fungsi sastra. Sebagai pembenar zaman terkadang ia harus secara vulgar berpihak terhadap kepentingan ideologi dimana ia merasa terpayungi. Konsistensi sastra kontemporerpun menunjukkan betapa kayanya tujuan spesial dari hamparan sastra di area publik. Mulai dari sastra pesantren, sastra sufi, sastra etnis, maupun sastra yang terpaksa lahir karena kepentingan membela sebuah rezim tertentu.
Tapi, adakah yang berpikir fungsi sastra bagi kesehatan kejiwaan manusia. Apakah inovasi kreatif terbaru sastra selain korelasi sinergisnya dengan kepentingan publik selaras kesamaan logika sang sastrawan. Secara fitriah, sastrapun dapat digunakan untuk memperkaya bingkai kemanusiaan kita tentunya dengan sebuah syarat mutlak, sastra yang menyehatkan mental adalah sastra yang berketuhanan. Sastra yang lekat dengan kedaulatan humanistik yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia sejak zaman azali. Sastra yang menurut Quran diajarkan oleh penyair yang beriman dan beramal saleh dan banyak dzikrullah (QS 26:227)
Sudah saatnya, dunia sastra mengambil varian seperti ini. Korporasi kejiwaan manusia dalam Islam memang telah terbukti dari perjalanan sastra sufistik yang terlegalisasikan dalam tarekat sejak lama. Beragam syair religius dibacakan disela-sela ritual majelis dzikir. Pada Manaqib Syekh Abdul Qadir Jaelani yang biasanya dipraktekkan tarekat-tarekat yang berafiliasi kepada ordo Qadiriyah minimal terdapat tiga pembacaan doa yang berirama sastrawi dan berseni. Pertama pada istighotsah pembuka, berupa syair Yaa Arhamar Rahimin yang dilagukan. Kedua, pada pembacaan lafal asmaul Husna yang diiramakan dengan sangat syahdu, serta pada fase terakhir pembacaan Nazam Manaqib, biasanya syair seruan Ibadallah Rijalallah.
Eksotisme ini bahkan menjadi lebih menarik kalau kita mencermati tarekat Maulawiyah dimana pembacaan syair tentang Tuhan justru merupakan puncak ritual diantara beraneka gaya berdzikir. Dimulai dengan azan, kemudian dzikir tarekat, dilanjutkan dengan The Whirling Darwisy (tarian berputar khas Darwis) kemudian diakhiri puisi-puisi yang dihadirkan mursyid yang terkadang berada dalam kondisi ekstase. Ketika itulah jamaah tarekat merasakan tajalli dan penyingkapan hijab dengan Tuhan. Menurut mereka, ketenangan jiwa yang luar biasa mereka rasakan saat itu.
Dalam era modern, sastra dan religiusitas lebih banyak dikotomis dan memilih areanya sendiri-sendiri. Kekuatan-kekuatan tarekat tak banyak lagi menelurkan irama sastrawi selain yang telah terpakemkan. Sementara biosfer sastra kontemporer malah terkadang mepertanyakan keabsahan Tuhan. Sastra modern sebagian membuat demarkasi antara Tuhan dan keindahan sastra. Invasi sastra barat yang mengejek eksistensi Tuhan, sedikit banyak mewarnai lunturnya estetika sastra religius. Meskipun apologi mereka dapat dibenarkan bahwa dunia sastra jangan terjebak pada “kebajikan kata-kata”, tapi sejauhmana pesan universal yang diniatinya dapat dihijrahkan. Memang, pada tataran dunia sastra sekular, logika ini dapat diterima, tapi dalam perspektif sastra “surgawi” hal ini bisa dituding pemubaziran kata-kata semata-mata.
Kegersangan spiritualitaspun dapat diobati dengan penerjunan sastra religius dalam bingkai psikoterapi. Hal ini didasari pandangan bahwa nilai psikologi modern telah mempertanyakan keabsahan postulat liberal yang mereka anut. Sementara di sisi lain, telah bermunculan aliran psikoterapi yang menggunakan ajaran agama sebagai pondasi terapi mental. Klub seperti association of Mormon Counselor and Psychoteraist, Christian Association For Psychological Studies, American Chatolic Psycological Association telah lebih dulu berkembang di barat, meskipun tidak menggunakan sastra sebagai salah satu faktor penyembuhnya.
Kini, saatnya sastra sufisme yang berjalin dengan dzikrullah digunakan sebagai terapi mental keringnya lahan kemanusiaan modern. Dalam tataran ini, sastra dalam bentuknya yang beragam baik puisi, syair, hikayah dan sebagainya dapat digunakan sebagai pengantar menuju dzikrullah. Nuansa sakralitas Tuhan ala sufisme seperti tajalli, muraqabah, mujahadah, mukasyafah, hijab dan sebagainya dapat diperjelas dengan ungkapan estetik bernuansa sastrawi. Tanpa interpretasi melalui dunia sastra, sulit bagi “manusia biasa” menyelami keindahanNya. Tidak ada yang dapat menggambarkan keindahan Tuhan kecuali kalimat sastra yang tidak menegasikannya. Penerjemehan aspek ketuhanan dalam sastra adalah ekspresi eksoteris dari tasawuf, sementara kedahsyatan dzikir adalah imbangan esoterismenya.
Kita perlu menghidupkan tradisi sastra tasawuf yang dapat menggambarkan Tuhan tidak dalam bentuk sakralitas parsial namun diutarakan dengan sangat indah maknawi. Ekologi tarekat yang dulu rajin menggaungkan sastra tentang Tuhan wajib dihadirkan kembali. Bukan tidak mungkin, ini dapat mengerem laju deras sastra atheis yang eksistensinya justru mereduksi keberagamaan kita.
Kepribadian meaningless karena peranan sastra yang melulu bertipe machine model akibat referensi ideologis membabi buta bukan tidak mungkin dapat menyebabkan existensial frustation yang dapat mempercepat arus apatisme terhadap keberagamaan. Bukannya malah mencerahkan dalam cita-cita zeitgeist zaman, sastra tanpa cita-cita memuliakan fitrah ketuhanan malah bisa membuat ruwet dan kebosanan (boredom) kejiwaan kita. Sastra tasawuf yang kaya dengan dialektika jiwa dengan Tuhan di masa kini, dapat diandalkan untuk menyelami urgensi degradasi humanisme yang kian membelit religiusitas publik. Namun, persebaran sufisme dalam dunia sastra harus berpondasikan kepada krusialitas tasamuh (toleransi )

Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNEJ.

Tidak ada komentar: