Kamis, 08 Agustus 2013

Licentia Poeitica Pada Ranah Penulisan Puisi


Oleh : Arsyad Indrad
Penulis puisi memang harus menaati kaidah penulisan puisi, akan tetapi ada kalanya tidak mengindahkan kaidah itu. Menaati penulisan seperti preposisi (kata depan) "di" dan “ke” harus terpisah seperti kata "meja", di meja., ke meja, ke jalan, di jalan, ke kota, di kota, ke mana, di mana, di sini, ke sini dll. Sebab kata meja,jalan,kota, mana, sini menunjukkan tempat. Lain halnya dengan prefiks (awalan)“di” serangkai dengan kata yang bukan menunjukkan tempat, seperti : diserahkan,diminati,diambil dll.
Adalah ketidakcermatan apa bila penulisan seperti : dimana,disana,disini,ditempat,dibawah,diatas,ditengah,kemana,kesana dan lain-lain.
Bagaimana dengan kompositum (kata majemuk)?
Dalam tata bahasa Indonesia tidak ada rumus atau aturan khusus kata majemuk, yang ada cuma acuan dalam EYD dan KKBI. Seperti penulisan kata majemuk antara lain : kacamata,matahari, air mata, kereta api,barangkali,daripada dll.
Sementara, ada pertanyaan : Apa sesungguhnya kata majemuk itu ?
Sementara, ada yang menjawab : Kata majemuk atau kompositum adalah  gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang  mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantic.
Dan sementara ada yang menjawab : Kata majemuk memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat di sisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan.   
Dan sementara ada juga yang menjawab : Kata majemuk memiliki ciri gabungan kata yang bisa membentuk makna baru. Kalau mencermati apa seperti di EYD dan KBBI, ada penulisan kata majemuk yang penulisannya serangkai dan tidak serangkai.      
Mengapa ada perbedaan itu ? Entahlah, di EYD dan KBBI tidak menjelaskan secara tegas apa alasannya sehingga terjadi demikian.
Ada pertanyaan : Mengapa ada penggunaan atau pilihan kata (diksi) kata "kupu-kupu" dan “kupukupu” ?, Di dalam EYD atau disebagian referensi "kupu-kupu" menyebutnya adalah kata ulang (semu ?). Tentu kalau kita mengacu pada kata ulang, mesti ada kata dasarnya. Seperti "meja-meja" kata dasarnya adalah "meja". Demikian pula kalau "kupu-kupu" dikatakan kata ulang tentu kata dasarnya adalah "kupu". Akan tetapi timbul pertanyaan adakah di dalam bahasa Indonesia "kupu" ? Seperti juga "kura","paru","cumi" dan lain-lain. Lalu bagaimana kalau "kupu-kupu" adalah sebuah kata lalu dijadikan kata ulang ? Tentu,"kupu-kupu-kupu-kupu". Disini tampaknya ada pemborosan tanda baca (-). Ada sebagian penyair beranggapan bahwa "kupu-kupu" tidak ada, yang ada adalah kata padu yang tidak bisa dipisahan satu sama lainnya : "kupukupu". Seperti halnya kata padu "matahari" dan lain-lain.
Lalu apa itu : Licentia poetica ? Licentia poetica adalah kebebasan penyair berekspresi dalam ranah penulisan puisinya.
Tentu, penyair tidak semena-mena berlicentia poetica, tetapi ia harus punya alasan mengapa ia berlicentia poetica. Boleh jadi, seorang penyair harus berlicentia poetika dalam menyusun  kata-kata untuk menghasilkan efekt bunyi, nuansa, rasa, daya atau maksud khusus yang tak ada pilihan lain, yang dapat melahirkan rasa keindahan dari karya puisinya itu.
Dengan alasan tersebut di atas, mengapa penyair memilih “jungkirbalik” dari pada “jungkir balik”, “haridemihari’ dari pada “hari demi hari”, “kupukupu” dari pada “kupu-kupu”, “bulanmerahsaga” dari pada “bulan merah saga” dll. Oleh karena itu jangan diukur dengan kaidah bahasa Indonesia, tetapi, ukurlah dengan bahasa batin. ***