Oleh : Arsyad Indrad
Penulis puisi memang harus menaati kaidah penulisan puisi, akan tetapi ada
kalanya tidak mengindahkan kaidah itu. Menaati penulisan seperti
preposisi (kata depan) "di" dan “ke” harus terpisah seperti kata
"meja", di meja., ke meja, ke jalan, di jalan, ke kota,
di kota, ke
mana, di mana, di sini, ke sini dll. Sebab kata meja,jalan,kota, mana, sini menunjukkan tempat. Lain
halnya dengan prefiks (awalan)“di” serangkai dengan kata yang bukan menunjukkan
tempat, seperti : diserahkan,diminati,diambil dll.
Adalah
ketidakcermatan apa bila penulisan seperti : dimana,disana,disini,ditempat,dibawah,diatas,ditengah,kemana,kesana
dan lain-lain.
Bagaimana dengan kompositum (kata majemuk)?
Dalam tata bahasa Indonesia tidak ada rumus atau aturan khusus kata
majemuk, yang ada cuma acuan dalam EYD dan KKBI. Seperti penulisan kata
majemuk antara lain : kacamata,matahari, air mata, kereta
api,barangkali,daripada dll.
Sementara, ada pertanyaan : Apa
sesungguhnya kata majemuk itu ?
Sementara, ada yang menjawab : Kata
majemuk atau kompositum adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya
berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantic.
Dan sementara ada yang menjawab :
Kata majemuk memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki
struktur tetap, tidak dapat di sisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya
karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan.
Dan sementara ada juga yang
menjawab : Kata majemuk memiliki ciri gabungan kata yang bisa membentuk makna
baru. Kalau mencermati apa seperti di EYD dan KBBI, ada penulisan kata majemuk
yang penulisannya serangkai dan tidak serangkai.
Mengapa ada perbedaan itu ?
Entahlah, di EYD dan KBBI tidak menjelaskan secara tegas apa alasannya sehingga
terjadi demikian.
Ada pertanyaan : Mengapa ada penggunaan atau pilihan kata
(diksi) kata "kupu-kupu" dan “kupukupu” ?, Di dalam EYD atau
disebagian referensi "kupu-kupu" menyebutnya adalah kata ulang (semu
?). Tentu kalau kita mengacu pada kata ulang, mesti ada kata dasarnya. Seperti
"meja-meja" kata dasarnya adalah "meja". Demikian pula
kalau "kupu-kupu" dikatakan kata ulang tentu kata dasarnya adalah "kupu".
Akan tetapi timbul pertanyaan adakah di dalam bahasa Indonesia "kupu"
? Seperti juga "kura","paru","cumi" dan
lain-lain. Lalu bagaimana kalau "kupu-kupu" adalah sebuah kata lalu
dijadikan kata ulang ? Tentu,"kupu-kupu-kupu-kupu". Disini tampaknya
ada pemborosan tanda baca (-). Ada
sebagian penyair beranggapan bahwa "kupu-kupu" tidak ada, yang ada
adalah kata padu yang tidak bisa dipisahan satu sama lainnya :
"kupukupu". Seperti halnya kata padu "matahari" dan
lain-lain.
Lalu apa itu : Licentia poetica ? Licentia
poetica adalah kebebasan penyair berekspresi dalam ranah penulisan puisinya.
Tentu,
penyair tidak semena-mena berlicentia poetica, tetapi ia harus punya alasan
mengapa ia berlicentia poetica. Boleh jadi, seorang penyair harus berlicentia
poetika dalam menyusun kata-kata untuk
menghasilkan efekt bunyi, nuansa, rasa, daya atau maksud khusus yang tak ada
pilihan lain, yang dapat melahirkan rasa keindahan dari karya puisinya itu.
Dengan
alasan tersebut di atas, mengapa penyair memilih “jungkirbalik” dari pada
“jungkir balik”, “haridemihari’ dari pada “hari demi hari”, “kupukupu” dari
pada “kupu-kupu”, “bulanmerahsaga” dari pada “bulan merah saga” dll. Oleh
karena itu jangan diukur dengan kaidah bahasa Indonesia, tetapi, ukurlah dengan
bahasa batin. ***