: Arsyad Indradi
Haiku merupakan puisi yang berasal dari Jepang dan tumbuh
di Indonesia, adalah salah satu kegiatan kreatif karya seni yang mampu mengekspresikan kesadaran orang akan suatu
pengalaman dengan diksi yang ditata dengan cermat dan mampu disampaikan dengan
17 suku kata, berpola 5 – 7 -5 dalam tiga baris sebagai seni yang indah.
Pada awalnya haiku adalah renga yang memiliki pola 5 – 7
– 5 – 7 – 7 yang populer pada abad ke 17. Namun dalam perkembangaannya
penyair-penyair Jepang merasa jenuh menulis puisi yang panjang dan dipaksa
menurut pakemnya. Maka banyak yang suka menulis puisi dengan mengambil pembuka
dari renga itu yaitu pola 5-7-5 dan seterusnya populerlah yang dinamakan hokku
atau haiku.
Salah satu penyair Jepang yang bergiat haiku pada waktu
itu adalah Matsuo Munefusa tetapi terkenal dengan nama Matsuo Basho. Dia
dilahirkan pada tahun 1644 di Ueno di daerah yang terletak di propinsi Iga.
Nama tersebut diberikan oleh muridnya karena disekitar
pondok kecil tempat Matsuo Basho banyak
tumbuh pohon pisang. Dalam bahasa Jepang, Basho diartikan sebagai “
pohon pisang “. Sehingga nama Basho merupakan julukan yang diberikan oleh orang
– orang di sekitarnya.
Basho wafat pada
November 1694 pada usia 50 tahun. Banyak karya haiku yang ditulis Matsuo Basho,
salah satunya yang sangat terkenal adalah haiku “katak” nya.
Ada beberapa versi terjemahan dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia, kita ambil salah satunya.
Furuike ya
Kawazu Tobikomu
Mizu no oto
old pond
a frog leaps in
water’s sound
Sebuah kolam tua
seekor katak melompat ke dalamnya
plung
Membaca dan menghayati haiku “katak”nya Basho ini sangat
terasa suasana lingkungan yang hening. Sunyi senyap. Yang diciptakan oleh “kireji”
baris ketiga yaitu diksi “plung”.
Kalau kita simak dan kita teliti di batang tubuh haiku
“katak” ini, Basho tidak menggunakan “kigo” sebagai penanda musim atau pun
penanda waktu, tetapi Basho memanfaatkan “Sabi” yakni nuansa ketenangan, dan
keindahan dari kesunyian.
Basho menerapkan nilai “zen”. Di mana pada waktu itu Basho
di bawah arahan Bucho, seorang pendeta Zen yang tinggal di kuil Chokeji.
Dalam hemat saya walau Basho tidak menggunakan kigo
sebagai penanda musim atau pun penanda waktu, namun sabi dimanfaatkan sebagai
kigo yakni penanda nuansa.
Demikian sekilas tentang haiku “katak”nya Basho yang
sungguh pandai menciptakan suasana kekeningan dan kesunyian yang indah.
Semoga bermanfaat
Salam Haiku Indonesia.
3 komentar:
Mantab banget ini beritanya.. Lanjutkan gan..
Agen Poker
Agen Poker Online
Agen Poker Terpercaya
Poker Online
Poker Terpercaya
Bandar Domino
Bandar Domino Online
Agen Domino
Judi Poker
Taruhan Poker
Bandar Poker
Nonton Movie Online
Diharapkan para sahabat menuliskan komentar, berguna untuk postingan saya lebih berbobot atau bernilai tambah.
Terima kasih komentar sahabat.
Posting Komentar