: Arsyad Indradi
Mengapa keberadaan kigo yang sebagian orang sering dijadikan alibi,
yang beranggapan bahwa haiku itu terkesan monoton, datar, kaku
dan kurang keindahan gaya
ungkapnya. Coba sebentar kita melirik terhadap pantun. Apakah sampiran
pada pantun itu monoton atau terkesan kaku ? Apakah jadinya kalau pantun tidak
bersampiran ? Juga apa jadinya kalau syair tidak memiliki rima yang sama ?
Kembali kepada haiku yang banyak orang perbincangkan tentang kigo. Pendapat
saya kigo memang mutlak karena kigo merupakan ciri haiku. Kireji juga ciri
haiku. Nah apa perlu kita menjadi risau ? Sesungguhnya ini tergantung sipenulis
haiku itu sendiri. Apakah ia memahami ,pandai, terampil terhadap kigo yang
merupakan mutlak pada haiku. Penanda musim di Jepun berbeda dengan penanda
musim di Indonesia. Di Jepun mengenal musim semi dan musim rontok
(gugur,salju). Di Indonesia mengenal musim hujan dan musim kemarau. Bahkan
banyak sekali sub penanda musim itu di Indonesia. Walua pun di Indonesia tidak
ada memiliki saijiki (daftar tentang musim) seperti di Jepun, namun kita
mengetahui di Indonesia ada musim hujan dan musim kemarau dengan beberapa sub
kigonya antara lain :
- Penanda waktu misalnya pagi, siang, sore, malam, dini
hari,senja.
- Penanda alam misalnya hewan, ungags dan serangga.
- Penanda momen-momen seperti hari raya, hari besar, hari
peringatan.
- Penanda peristiwa budaya, suasana (periodik) seperti
pesta layang-layang, Agustusan, serba baduy, Muludan, Ramadhan, musim akik,
Seren Taun dan lain-lain.
Jadi dengan demikian bagi saya tentu tidaklah menjadikan
risau terdahap terhadap kigo.
Lalu bagaimana menuliskan haiku yang mesti ada kigo itu ?
Kita pun jangan risau sebab kita bisa kita tuliskan secara :
Kigo yang implisit dan kigo secara eksplisit.
- Kigo implisit seperti tongrek berbunyi (penanda musim
kemarau), lelewa terbang (penanda malam), suara kodok ( penanda musim hujan ),
Sumpah Pemuda (penanda suatu momen), embun menetes (suasana pagi), surya tenggelam
(penanda waktu senja), Fajar menyingsing ( penanda dini hari/pagi) bunyi burung
hantu ( malam sunyi ) dan lain-lain.
- Kigo yang eksplisit, seperti malam sunyi, panas
menggantang, hujan turun, gerimis pagi dan lain-lain.
Sebagai contoh :
Haiku yang kigonya secara implisit :
Cahaya bulan
Mekar bunga flamboyan
Di dalam taman
Haiku yang kigonya secara eksplisit :
Malam gulita
Membentang tirai hujan
Kota terlelap
Jadi kesimpulannya, tergantung kepada si penulis haiku
itu sendiri untuk memahami,pandai
dan terampil terhadap kigonya.
Mengapa meski risau ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar