Rabu, 31 Desember 2008

Tiga Kutub Senja’ Yang Tak Berkutub

Energik! Itulah ungkapan yang tepat saat ini untuk komunitas sastrawan Banjarbaru, baik yang terhimpun dalam "Kilang Sastra Batu Karaha" maupun yang aktif secara individual. Bukan tidak mungkin, sentral tulis-menulis puisi sekarang berpusat di Banjarbaru, setidaknya ini dilihat dari keaktifan penyair-penyairnya mereaktualisasikan genre puisi dalam beberapa antologi yang dalam lima tahun terakhir cukup banyak ditampilkan. Salah satu di antara antalogi tersebut adalah, "Tiga Kutub Senja’ yang memuat puisi-puisi tiga penyair senior; Eza Thaberi Husano, Hamami Adaby, dan Arsyad Indradi. Tiga sosok ini boleh diacungi jempol, sebab cukup getol menggeluti dunia puisi.
Semula kita memang diantar untuk menyelam ke dalam lanskap "kutub senja" dari tiga penyair ini. Tapi rupanya tidak demikian. Kita belum mendapatkan lanskap senja itu kecuali beberapa untaian puisi yang ditulis oleh Arsyad Indradi. Yang kita temui justru aneka refleksi penyairnya yang menganggap diri usia menjelang senja.
Aneka obsesi menyeruak dalam antalogi ini, namun sayang antologi terkesan tidak membuhul dalam tematik senja sebagaimana diutarakan dalam pengantar penerbit. Masih terdapat pula karya-karya lama yang dimuat dalam kumpulan ini. Meski begitu, kita agak sedikit terobati oleh pemakluman imaji penyair yang melanglang buana dari pengusungan tema-tema yang variatif.
Eza Thaberi Husano mungkin lebih kuat dalam perlambangan dan simbol-simbol kehidupan yang merintih. Puisi-puisinya punya maksud serius tentang eskpresi kegelisahan atas kondisi alam, zaman, dan keterpurukan manusia. Lihatlah misalnya dalam "Urbanisasi Anak-anak Puisiku", ungkapan-ungkapan bumi sakit terkapar, sakit tak ada awal tak ada akhir, seperti khotbah takdir kepada penyair, anak-anak puisiku: hidup itu melayuh duri.
Berbeda dengan itu, puisi-puisi Hamami Adaby agak reportois pada alam tanpa opini. Ia seorang pengagum alam yang bicara dari langit ke langit dan dari lanskap ke lanskap. "Pelangi Senja" Cakrawala pelangi selalu kukagumi, karena selingkuh warna, air, matahari dan bumi, meneteskan gula paduan zatnya.
Masih kita dapatkan lagi imaji-imajinya pada laut "Di Atas Kapal" Angin berlomba mengejar Samudera, berlomba menggetar sukma, begitulah seterusnya adinda. Boleh jadi sisa-sisa romantik masih berkesan di jiwa penyair ini sebagaimana kita dapatkan dalam sajak "Ballada di rumah sakit" aku pamit, kubisiki,kita selalu bersama sayang.
Arsyad Indradi, penyair yang juga penari ini memang kelihatan lebih mempertimbangkan kematangan dalam menangkap kelebat imajinya. Arsyad Indradi kembali menuranikan obsesinya dalam efek relegiusitas di tempat yang paling tinggi, di puncak nurani.
Imajinya menggelandang ke dalam relung hati, menjelajah tubuh dan mengisi nikmatnya dahaga, masuk ke dalam lubuk jantungnya. Asosiasi makna yang terdapat dalam style imagis Arsyad Indradi terasa lebih bebas menggiring dan bergerak menekan konteks.
Bila kita dapat lebih khusyu dengan idiom-idiom putik kita seakan diajak penyair menelisik mengikuti perjalanan batinnya yang sendu. Tak ada kekakuan idiom (ufoni), bahasanya bergerak manja untuk kita ikuti ke sana kemari.
Semua puisi yang beringuh romantis ini ditulis di tahun 2000. Tentu ini prestasi tersendiri. Namun, amat sayang pula kita mesti mencari tahu sistem yang lecentia poetica Arsyad Indradi dalam penulisan tanda hubung pengulang yang ditanggalkan begitu saja seperti, mazmurmazmur, akarakaran, gordengorden, gurungurunmu, riakdemiriak, masasilamku, burungburung, awanawan, rindudendam, bayangbayang, bintangbintangMu, karangkarang, langitlangitmu, hentihenti, halamandemihalaman, acuhtakacuh, dan lain-lain.
Hampir setiap judul puisi berisi sistem penulisan itu, padahal itu sebuah sistem yang tidak lazim. Tentu ketaklaziman ini sebuah refleksi licentia poetica yang hanya diketahui penyairnya.
Pertanyaan kita, mestikah konstruksi ini diciptakan seperti itu tanpa historisitas meaning. Tentu jawaban yang diharapkan bukan sekadar berlindung dalam legitimasi kebebasan penyair, tapi lebih dimungkinkan ada efek semiotik yang ingin disuntikan dari konstruksi itu. Bertebarannya konstruksi ini agak menggangu kenikmatan.
Meski demikian, kita perlu salut untuk ketiga penyair "Tiga Kutub Senja" atas kerja keras mereka membangun komunitas. Biarlah, komunitas ini lahir, hidup, besar dan mati sendiri di tempat ini, meski orang-orang sana memang tidak peduli untuk kelahiran kita. *****Jarkasi, pengamat seni dan budaya, dosen FKIP Bhs Indonesia dan Sastra Unlam Banjarmasin dan dimuat di http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0208/26/000853.htm
________________________________________

5 komentar:

Suprih's Blog mengatakan...

Meskipun bahasa sastra tidak mudah dipahami tetapi makna yang tersirat sungguh dalam dan penuh insiprasi.....trima kasih ya Om atas inspirasinya

CATATAN URANGBAHARI mengatakan...

Syabas dan saya teruja membaca sajak sdra. Tentunya waktu mencipta anda dalam keadaan kritis dan sensitif..

dia dan xexa mengatakan...

wawwwwwwwwww.....ke Malaysia dan Tailan,mmmmmmmmmm hebat-hebat,
tp jgn pnggl yuli om....namanya juli
heheheheheh

nari......juli seneng bgt,

Anonim mengatakan...

Salam sastra! Tiga kutub yang "melegenda" jagad sastra kalsel. Salute

Cangkang mengatakan...

Kakek, sebenarnya saya mau pesan "tiga kutub senja" melihat pesan kakek ke bang nano kalau "tiga kutub senja" sedang istirahat, jadinya cuman mau komentar, "bolehkan kek, saya melebihi kakek suatu hari??".