Rabu, 24 Desember 2008

Kota dalam Puisi Penyair Banjarbaru

Oleh Sainul Hermawan

Dewan Kesenian Daerah Banjarbaru bekerjasama dengan Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru, pada 1997 menerbitkan antologi puisi tujuh penyair Banjarbaru, berjudul Gerbang Pemukiman. Antologi tersebut menghimpun 5 puisi karya Aria Patrajaya, 5 puisi Ariffin Noor Hasby, 6 puisi Arsyad Indradi, 6 puisi Eza Thabry Husano, 6 sajak Fakhruddin, 3 puisi M. Rifani Djamhari, dan 5 puisi M. Syarkawi Mar’ie. Semua puisi itu merenungkan beragam tema, tetapi tulisan ini hanya ingin membahas bagaimana beberapa puisi dari antologi tersebut merenungkan kota.
Sajak-sajak yang membicarakan kota adalah sajak Syair Musim, dan Guman Banjarbaru karya A. Patrajaya (hlm. 6, 7); Syair Manusia karya Ariffin Noor Hasby (hlm. 12); Syair Kota, dan Taman di Tengah Kota karya Arsyad Indradi (hlm. 13, 16); Sebelum Kota-kota Padam karya Eza Thabry Husano (hlm. 22); Catatan Kota ke-22 karya Fakhruddin (hlm. 28); Ninabobo karya M. Rifani Djamhari (hlm. 34), dan Lukisan Sebuah Kota karya M. Syarkawi Mar’ie (hlm. 41).
Karya-karya yang belum terlalu lama itu tetap penting untuk kita baca karena secara estetis karya-karya ini telah berupaya mendokumentasikan dinamika mentalitas masyarakatnya. Setiap pembacaan yang dilakukan oleh siapa pun adalah sumber kehidupan bagi karya sastra karena tanpa pembaca karya sastra tidak berarti apa-apa. Sastra yang menyejarah, yang hidup, adalah karya sastra yang dibaca.
Kota dalam sajak Syair Musim adalah tempat yang tidak menyenangkan, tidak sehat: Musim yang jatuh di balik kotaku/menimpa rumah-rumah,....[..]/ Debu menyapa dengan ganas/Luka. Aku lirik dalam sajak ini menyadari bahwa kegerahan kota adalah hasil negatif dari perwujudan nafsu destruktif manusia-manusianya. Kegerahan kota akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya: [...] Gerbang tahun menghamili waktu. Dan panas musim ini adalah anak nakal yang lahir dari waktu.
Dalam sajak berikutnya, Guman Banjarbaru, kita dapat mengenal siapa “aku” lirik yang memandang kotanya, Banjarbaru. Aku lirik adalah sesorang dari kelas sosial menengah atas yang kritis pada sekitarnya. Ini terlihat dari selera atau pengetahuannya tentang musik jazz, dan cara ia memposisikan diri dari manusia lain dalam sajak itu: Duduk di pelataran sore mendengarkan ‘Havana’-nya Kenny G., Banjarbaru, teringat aku akan pembersih jalanan. Dengan mempersonifikasikan Banjarbaru, dia menyapa kota itu dan secara tak langsung mengeritik dan mengingatkan betapa buruk rupa kotanya, dan betapa penting arti mereka bagi kebersihan wajahnya: Debu yang beterbangan, daun angsana yang mengisi selokan berpacu dengan denyut nadi mereka/ [...] mereka sudahkan tubuhmu yang kotor dari tangan runcing dan kusamnya wajah kota. Sunyi nafas mereka memberi harum pada bunga.// Mereka sihir dengan serpihan kaki. Guman: !!?!!.... Ada semacam pembelaan dan penghargaan terhadap jasa pembersih kota yang kurang dihargai oleh masyarakat dan aparat yang seharusnya menghargai perannya. Pembersih jalanan bisa siapa saja yang berupaya membuat Banjarbaru tidak kotor secara fisik dan psikis.
Dalam sajak Syair Manusia, kota diibaratkan seorang yang kehilangan cahaya karena hidup di dalamnya penuh sandiwara, penuh kebohongan: Kota-kota bergerak mencari lentera manusia/ lewat pintu yang kau ucapkan dalam bahasa musim/ tapi orang-orang masih menjadi jam/ bersandiwara dengan ruang//[...] Masyarakat kota berkata-kata penuh spontanitas, serba tiba-tiba, tak perlu dipikir dalam-dalam. Manusia kota mudah kehilangan arah: [...] Kota-kota melewati beribu dalil percakapan/ tapi adakah kita sempat mengatur ruang pikiran/ dalam gerak cepat ataupun lambat/ tanpa kehilangan kodrat tanpa kehilangan kiblat?
Ungkapan estetik sajak ini mengingatkan bahwa mereka telah tercabik-cabik sebagai manusia karena kata dan perbuatan mereka tak pernah menyatu, tak pernah utuh, hanya meruang dan mewaktu. Kenyataan inilah yang seharusnya jadi pintu masuk untuk menemukan penyelesaian bagi persoalan-persoalan kota yang penting.
Sajak Syair Kota karya Arsyad Indradi mempertegas hubungan antara kota dan segala sesuatu yang mencemaskan, mematikan, menyedihkan, dan makna yang memudar: Ada kecemasan tak sempat/ Diungkapkan ketika gugus/ Daun berguguran/ Selaksa duka/ Ilalang mencari makna [...]// Gedung dan rumah batu/ Dalam duabelas sulang asap/ Dunia purba [...] Kota tak hirau lagi pada lingkungan, dan kedamaian hidup menjauhinya. Ketentraman hidup jadi simbolisasi semata: [...] Lihat tanda tanda kehidupan/ Ketika kaubuka/ menangkap percakapan bunga/ burung-burung kau lepaskan/ dari tangan nestapa.
Kepedulian, atau lebih tepatnya kerinduan, kota pada lingkungan alamiah yang hidup, manis, indah, dan menyegarkan diwujudkan dalam miniatur, yang serba terbatas dan hanya mampu menampung impian, bukan kenyataan. Hal ini secara tersirat dapat dibaca dalam sajak Taman di Tengah Kota karya Arsyad Indradi yang lain: Ada taman di tengah kota/ Sejuta impian siapa/ yang tumbuh di sana [...]// ... Bocah bocah melukis/ Kota idamannya/ Di dinding menara/ Ada bocah melukis menara/ Yang kehilangan madu lebah/ dari bungabunga/ yang susah payah ditanamnya// [...]
Dalam imajinasi sajak Sebelum Kota-kota Padam karya Eza Thabry Husano, kota adalah semacam pemerkosa sejarah kemanusiaan yang merampas kenangan masa silam. Kota tak memerlukan sejarah. Karenanya tokoh aku dalam sajaknya memilih cara berkesenian sebagai solusi kultural agar tak digilas oleh godaan pesona kota yang bertubi-tubi: [...] seperti kota-kota lain, aku juga mementaskan teater, supaya bisa pulang ke masa kecilku/ [...] kota-kota yang menghamilimu lenyap dari sejarah kemanusiaan dan kerinduan.
Namun, si aku dalam sajak ini juga ragu pada keampuhan solusi itu sebab ia pun menghidupkan dan dihidupkan oleh peradaban kota: [...] sesuap nasi mengalir di matamu, sebagian perahu masa kecilku juga yang lapar sungai kerinduan. namun dalam perutku berdiri kota-kota pendakian yang kesekian. Ia menjadi ambigu.
Demikian pula tokoh yang menyaksikan kota, dalam sajak Fakhruddin, Catatan Kota ke-22. Penyaksi itu menyadari bahwa “keindahan” kota hanyalah dongeng atau fatamorgana. Dalam kenyataannya kota cuma realitas yang angkuh, sumpek, ruwet, dan meresahkan: memandang kota...burung-burung gelisah menyeberangi gairah pada persimpangan jalan berliku [...] anak-anak berlari keluar masuk hutan merajut kenangan dalam keangkuhan tiang-tiang [...] dan deru mobil [...].
Dengan cara yang berbeda M. S. Mar’ie, dalam Lukisan Sebuah Kota, tokoh aku mendambakan kota ideal seperti dalam sajaknya. Makna harapan di sini adalah sesuatu yang tidak hadir di dalam teks bertolak belakang dengan yang hadir. Akhirnya, M. Rifani Djamhari dalam sajak Ninabobo menawarkan solusi lain, yaitu menerima kota apa adanya karena impian untuk keluar dari kota pada akhirnya cuma jadi mimpi, jadi puisi. Cukuplah menyadari kerusakan kota dan berusaha untuk tidak memperparah kerusakan itu dengan cara tidur sebagai simbolisasi perlawanan terhadap gairah kota yang merangsang segala energi manusia yang hidup di dalamnya: [...] tidurlah kesedihan// milik kita hanya kaki yang letih/ aspal dan debu jalan/ pojok kota dengan taman yang rimbun/ [...]// Tidurlah, sungai sisigan [...] sungai nini-datu yang dituba// Tidurlah mata yang perih/ kampung halaman yang berkabut/ hutan leluhur yang diperkosa// tidurlah, tidurlah/ sebab hanya tidur pelipur kita.
Kota dalam sajak-sajak di atas adalah kota ini, juga kota-kota lain, dan mungkin juga kota yang pernah ada dan akan ada. Kota memekanisasi segala hal di dalamnya. Rutinitas manusia di dalamnya mengalienasi manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan lingkungannya karena segala interaksi reflektif dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan lingkungannya bersifat kontraktual, tidak emosional, apalagi spiritual. Bahkan emosi dan spirit di kota dialienasikan dengan beragam cara untuk mencapai nilai-nilai kontraktual baru. Mediasi untuk segala norma itu adalah uang.
Banjarmasin, 8 Maret 2005

Tidak ada komentar: