Rabu, 31 Desember 2008

Tiga Kutub Senja’ Yang Tak Berkutub

Energik! Itulah ungkapan yang tepat saat ini untuk komunitas sastrawan Banjarbaru, baik yang terhimpun dalam "Kilang Sastra Batu Karaha" maupun yang aktif secara individual. Bukan tidak mungkin, sentral tulis-menulis puisi sekarang berpusat di Banjarbaru, setidaknya ini dilihat dari keaktifan penyair-penyairnya mereaktualisasikan genre puisi dalam beberapa antologi yang dalam lima tahun terakhir cukup banyak ditampilkan. Salah satu di antara antalogi tersebut adalah, "Tiga Kutub Senja’ yang memuat puisi-puisi tiga penyair senior; Eza Thaberi Husano, Hamami Adaby, dan Arsyad Indradi. Tiga sosok ini boleh diacungi jempol, sebab cukup getol menggeluti dunia puisi.
Semula kita memang diantar untuk menyelam ke dalam lanskap "kutub senja" dari tiga penyair ini. Tapi rupanya tidak demikian. Kita belum mendapatkan lanskap senja itu kecuali beberapa untaian puisi yang ditulis oleh Arsyad Indradi. Yang kita temui justru aneka refleksi penyairnya yang menganggap diri usia menjelang senja.
Aneka obsesi menyeruak dalam antalogi ini, namun sayang antologi terkesan tidak membuhul dalam tematik senja sebagaimana diutarakan dalam pengantar penerbit. Masih terdapat pula karya-karya lama yang dimuat dalam kumpulan ini. Meski begitu, kita agak sedikit terobati oleh pemakluman imaji penyair yang melanglang buana dari pengusungan tema-tema yang variatif.
Eza Thaberi Husano mungkin lebih kuat dalam perlambangan dan simbol-simbol kehidupan yang merintih. Puisi-puisinya punya maksud serius tentang eskpresi kegelisahan atas kondisi alam, zaman, dan keterpurukan manusia. Lihatlah misalnya dalam "Urbanisasi Anak-anak Puisiku", ungkapan-ungkapan bumi sakit terkapar, sakit tak ada awal tak ada akhir, seperti khotbah takdir kepada penyair, anak-anak puisiku: hidup itu melayuh duri.
Berbeda dengan itu, puisi-puisi Hamami Adaby agak reportois pada alam tanpa opini. Ia seorang pengagum alam yang bicara dari langit ke langit dan dari lanskap ke lanskap. "Pelangi Senja" Cakrawala pelangi selalu kukagumi, karena selingkuh warna, air, matahari dan bumi, meneteskan gula paduan zatnya.
Masih kita dapatkan lagi imaji-imajinya pada laut "Di Atas Kapal" Angin berlomba mengejar Samudera, berlomba menggetar sukma, begitulah seterusnya adinda. Boleh jadi sisa-sisa romantik masih berkesan di jiwa penyair ini sebagaimana kita dapatkan dalam sajak "Ballada di rumah sakit" aku pamit, kubisiki,kita selalu bersama sayang.
Arsyad Indradi, penyair yang juga penari ini memang kelihatan lebih mempertimbangkan kematangan dalam menangkap kelebat imajinya. Arsyad Indradi kembali menuranikan obsesinya dalam efek relegiusitas di tempat yang paling tinggi, di puncak nurani.
Imajinya menggelandang ke dalam relung hati, menjelajah tubuh dan mengisi nikmatnya dahaga, masuk ke dalam lubuk jantungnya. Asosiasi makna yang terdapat dalam style imagis Arsyad Indradi terasa lebih bebas menggiring dan bergerak menekan konteks.
Bila kita dapat lebih khusyu dengan idiom-idiom putik kita seakan diajak penyair menelisik mengikuti perjalanan batinnya yang sendu. Tak ada kekakuan idiom (ufoni), bahasanya bergerak manja untuk kita ikuti ke sana kemari.
Semua puisi yang beringuh romantis ini ditulis di tahun 2000. Tentu ini prestasi tersendiri. Namun, amat sayang pula kita mesti mencari tahu sistem yang lecentia poetica Arsyad Indradi dalam penulisan tanda hubung pengulang yang ditanggalkan begitu saja seperti, mazmurmazmur, akarakaran, gordengorden, gurungurunmu, riakdemiriak, masasilamku, burungburung, awanawan, rindudendam, bayangbayang, bintangbintangMu, karangkarang, langitlangitmu, hentihenti, halamandemihalaman, acuhtakacuh, dan lain-lain.
Hampir setiap judul puisi berisi sistem penulisan itu, padahal itu sebuah sistem yang tidak lazim. Tentu ketaklaziman ini sebuah refleksi licentia poetica yang hanya diketahui penyairnya.
Pertanyaan kita, mestikah konstruksi ini diciptakan seperti itu tanpa historisitas meaning. Tentu jawaban yang diharapkan bukan sekadar berlindung dalam legitimasi kebebasan penyair, tapi lebih dimungkinkan ada efek semiotik yang ingin disuntikan dari konstruksi itu. Bertebarannya konstruksi ini agak menggangu kenikmatan.
Meski demikian, kita perlu salut untuk ketiga penyair "Tiga Kutub Senja" atas kerja keras mereka membangun komunitas. Biarlah, komunitas ini lahir, hidup, besar dan mati sendiri di tempat ini, meski orang-orang sana memang tidak peduli untuk kelahiran kita. *****Jarkasi, pengamat seni dan budaya, dosen FKIP Bhs Indonesia dan Sastra Unlam Banjarmasin dan dimuat di http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0208/26/000853.htm
________________________________________

Sabtu, 27 Desember 2008

Arsyad Indradi


31 Desember ke-59

Di larat bulan desember
Aku masih setia merangkai tubuh
Pohon kehidupan dari lembarlembar usia
Alangkah jingganya senjakala

Kusangga jiwa sunyi yang luruh
Di reranting
Mendebarkan riapkerliplampulampu
Yang kukalungkan sekujur tubuh

Malam pasti akan tiba
Apakah aku akan menangis
Seperti pertamakali lahir
Dari rahim kehidupan

Setiap lampu kecil kutabur di tubuh
Tak letih jemari merangkai zikir
Dalam cahya kasih namamu

Banjarbaru, 2008

Rabu, 24 Desember 2008

Kota dalam Puisi Penyair Banjarbaru

Oleh Sainul Hermawan

Dewan Kesenian Daerah Banjarbaru bekerjasama dengan Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru, pada 1997 menerbitkan antologi puisi tujuh penyair Banjarbaru, berjudul Gerbang Pemukiman. Antologi tersebut menghimpun 5 puisi karya Aria Patrajaya, 5 puisi Ariffin Noor Hasby, 6 puisi Arsyad Indradi, 6 puisi Eza Thabry Husano, 6 sajak Fakhruddin, 3 puisi M. Rifani Djamhari, dan 5 puisi M. Syarkawi Mar’ie. Semua puisi itu merenungkan beragam tema, tetapi tulisan ini hanya ingin membahas bagaimana beberapa puisi dari antologi tersebut merenungkan kota.
Sajak-sajak yang membicarakan kota adalah sajak Syair Musim, dan Guman Banjarbaru karya A. Patrajaya (hlm. 6, 7); Syair Manusia karya Ariffin Noor Hasby (hlm. 12); Syair Kota, dan Taman di Tengah Kota karya Arsyad Indradi (hlm. 13, 16); Sebelum Kota-kota Padam karya Eza Thabry Husano (hlm. 22); Catatan Kota ke-22 karya Fakhruddin (hlm. 28); Ninabobo karya M. Rifani Djamhari (hlm. 34), dan Lukisan Sebuah Kota karya M. Syarkawi Mar’ie (hlm. 41).
Karya-karya yang belum terlalu lama itu tetap penting untuk kita baca karena secara estetis karya-karya ini telah berupaya mendokumentasikan dinamika mentalitas masyarakatnya. Setiap pembacaan yang dilakukan oleh siapa pun adalah sumber kehidupan bagi karya sastra karena tanpa pembaca karya sastra tidak berarti apa-apa. Sastra yang menyejarah, yang hidup, adalah karya sastra yang dibaca.
Kota dalam sajak Syair Musim adalah tempat yang tidak menyenangkan, tidak sehat: Musim yang jatuh di balik kotaku/menimpa rumah-rumah,....[..]/ Debu menyapa dengan ganas/Luka. Aku lirik dalam sajak ini menyadari bahwa kegerahan kota adalah hasil negatif dari perwujudan nafsu destruktif manusia-manusianya. Kegerahan kota akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya: [...] Gerbang tahun menghamili waktu. Dan panas musim ini adalah anak nakal yang lahir dari waktu.
Dalam sajak berikutnya, Guman Banjarbaru, kita dapat mengenal siapa “aku” lirik yang memandang kotanya, Banjarbaru. Aku lirik adalah sesorang dari kelas sosial menengah atas yang kritis pada sekitarnya. Ini terlihat dari selera atau pengetahuannya tentang musik jazz, dan cara ia memposisikan diri dari manusia lain dalam sajak itu: Duduk di pelataran sore mendengarkan ‘Havana’-nya Kenny G., Banjarbaru, teringat aku akan pembersih jalanan. Dengan mempersonifikasikan Banjarbaru, dia menyapa kota itu dan secara tak langsung mengeritik dan mengingatkan betapa buruk rupa kotanya, dan betapa penting arti mereka bagi kebersihan wajahnya: Debu yang beterbangan, daun angsana yang mengisi selokan berpacu dengan denyut nadi mereka/ [...] mereka sudahkan tubuhmu yang kotor dari tangan runcing dan kusamnya wajah kota. Sunyi nafas mereka memberi harum pada bunga.// Mereka sihir dengan serpihan kaki. Guman: !!?!!.... Ada semacam pembelaan dan penghargaan terhadap jasa pembersih kota yang kurang dihargai oleh masyarakat dan aparat yang seharusnya menghargai perannya. Pembersih jalanan bisa siapa saja yang berupaya membuat Banjarbaru tidak kotor secara fisik dan psikis.
Dalam sajak Syair Manusia, kota diibaratkan seorang yang kehilangan cahaya karena hidup di dalamnya penuh sandiwara, penuh kebohongan: Kota-kota bergerak mencari lentera manusia/ lewat pintu yang kau ucapkan dalam bahasa musim/ tapi orang-orang masih menjadi jam/ bersandiwara dengan ruang//[...] Masyarakat kota berkata-kata penuh spontanitas, serba tiba-tiba, tak perlu dipikir dalam-dalam. Manusia kota mudah kehilangan arah: [...] Kota-kota melewati beribu dalil percakapan/ tapi adakah kita sempat mengatur ruang pikiran/ dalam gerak cepat ataupun lambat/ tanpa kehilangan kodrat tanpa kehilangan kiblat?
Ungkapan estetik sajak ini mengingatkan bahwa mereka telah tercabik-cabik sebagai manusia karena kata dan perbuatan mereka tak pernah menyatu, tak pernah utuh, hanya meruang dan mewaktu. Kenyataan inilah yang seharusnya jadi pintu masuk untuk menemukan penyelesaian bagi persoalan-persoalan kota yang penting.
Sajak Syair Kota karya Arsyad Indradi mempertegas hubungan antara kota dan segala sesuatu yang mencemaskan, mematikan, menyedihkan, dan makna yang memudar: Ada kecemasan tak sempat/ Diungkapkan ketika gugus/ Daun berguguran/ Selaksa duka/ Ilalang mencari makna [...]// Gedung dan rumah batu/ Dalam duabelas sulang asap/ Dunia purba [...] Kota tak hirau lagi pada lingkungan, dan kedamaian hidup menjauhinya. Ketentraman hidup jadi simbolisasi semata: [...] Lihat tanda tanda kehidupan/ Ketika kaubuka/ menangkap percakapan bunga/ burung-burung kau lepaskan/ dari tangan nestapa.
Kepedulian, atau lebih tepatnya kerinduan, kota pada lingkungan alamiah yang hidup, manis, indah, dan menyegarkan diwujudkan dalam miniatur, yang serba terbatas dan hanya mampu menampung impian, bukan kenyataan. Hal ini secara tersirat dapat dibaca dalam sajak Taman di Tengah Kota karya Arsyad Indradi yang lain: Ada taman di tengah kota/ Sejuta impian siapa/ yang tumbuh di sana [...]// ... Bocah bocah melukis/ Kota idamannya/ Di dinding menara/ Ada bocah melukis menara/ Yang kehilangan madu lebah/ dari bungabunga/ yang susah payah ditanamnya// [...]
Dalam imajinasi sajak Sebelum Kota-kota Padam karya Eza Thabry Husano, kota adalah semacam pemerkosa sejarah kemanusiaan yang merampas kenangan masa silam. Kota tak memerlukan sejarah. Karenanya tokoh aku dalam sajaknya memilih cara berkesenian sebagai solusi kultural agar tak digilas oleh godaan pesona kota yang bertubi-tubi: [...] seperti kota-kota lain, aku juga mementaskan teater, supaya bisa pulang ke masa kecilku/ [...] kota-kota yang menghamilimu lenyap dari sejarah kemanusiaan dan kerinduan.
Namun, si aku dalam sajak ini juga ragu pada keampuhan solusi itu sebab ia pun menghidupkan dan dihidupkan oleh peradaban kota: [...] sesuap nasi mengalir di matamu, sebagian perahu masa kecilku juga yang lapar sungai kerinduan. namun dalam perutku berdiri kota-kota pendakian yang kesekian. Ia menjadi ambigu.
Demikian pula tokoh yang menyaksikan kota, dalam sajak Fakhruddin, Catatan Kota ke-22. Penyaksi itu menyadari bahwa “keindahan” kota hanyalah dongeng atau fatamorgana. Dalam kenyataannya kota cuma realitas yang angkuh, sumpek, ruwet, dan meresahkan: memandang kota...burung-burung gelisah menyeberangi gairah pada persimpangan jalan berliku [...] anak-anak berlari keluar masuk hutan merajut kenangan dalam keangkuhan tiang-tiang [...] dan deru mobil [...].
Dengan cara yang berbeda M. S. Mar’ie, dalam Lukisan Sebuah Kota, tokoh aku mendambakan kota ideal seperti dalam sajaknya. Makna harapan di sini adalah sesuatu yang tidak hadir di dalam teks bertolak belakang dengan yang hadir. Akhirnya, M. Rifani Djamhari dalam sajak Ninabobo menawarkan solusi lain, yaitu menerima kota apa adanya karena impian untuk keluar dari kota pada akhirnya cuma jadi mimpi, jadi puisi. Cukuplah menyadari kerusakan kota dan berusaha untuk tidak memperparah kerusakan itu dengan cara tidur sebagai simbolisasi perlawanan terhadap gairah kota yang merangsang segala energi manusia yang hidup di dalamnya: [...] tidurlah kesedihan// milik kita hanya kaki yang letih/ aspal dan debu jalan/ pojok kota dengan taman yang rimbun/ [...]// Tidurlah, sungai sisigan [...] sungai nini-datu yang dituba// Tidurlah mata yang perih/ kampung halaman yang berkabut/ hutan leluhur yang diperkosa// tidurlah, tidurlah/ sebab hanya tidur pelipur kita.
Kota dalam sajak-sajak di atas adalah kota ini, juga kota-kota lain, dan mungkin juga kota yang pernah ada dan akan ada. Kota memekanisasi segala hal di dalamnya. Rutinitas manusia di dalamnya mengalienasi manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan lingkungannya karena segala interaksi reflektif dengan dirinya sendiri, dengan sesama dan lingkungannya bersifat kontraktual, tidak emosional, apalagi spiritual. Bahkan emosi dan spirit di kota dialienasikan dengan beragam cara untuk mencapai nilai-nilai kontraktual baru. Mediasi untuk segala norma itu adalah uang.
Banjarmasin, 8 Maret 2005

Astagfirollah !


Dimasa lampau sebelum tahun 70-an dimana perayaan 17 Agustus, Hari Kemerdekaan RI dirayakan sedemikian meriah, penuh semangat kebangsaan dan rasa syukur. Pada waktu itu partai – partai politik dengan seluruh massanya penuh semangat patriotisme membanjiri lapangan upacara hidmat mengikuti upacara. Masing – masing partai mempertunjukkan drum bandnya memeriahkan suasana seusai upacara. Bendera- bendera partai menjadi dekorasi yang indah disetiap pelosok kampung dan kota. Tetapi setelah tahun 70-an yakni di zaman Orde Baru keikut sertaan massa partai – partai politik mulai menipis apa lagi pada masa itu jumlah partai politik masing-masing berfusi menjadi tiga partai yang didominasi oleh salah satu partai paling kuat. Setelah Orde Baru tumbang, di era Reformasi bertumbuhanlahlah partai – partai politik seperti jamur dimusim hujan. Namun banyaknya partai ini ternyata massanya tak ada yang menghadiri upacara kecuali petinggi partainya pun berada di tribon atau di dalam tenda.
Sungguh ini suatu penomena di mana jaman sudah berganti rupa. Di zaman Reformasi ini jiwa patriotisme juga sudah berubah menjadi ambisi pemburu kedudukan dan jabatan. Di masa kampanye seluruh partai mengerahkan massa dan pendukungnya untuk memenangkan partainya, memenangkan calegnya. Spanduk, pamplet, poster, baliho, yang berisikan gambar – gambar caleg seruan, ajakan, rayuan, slogan, janji – janji, dipancang dimana-mana. Bagi – bagi baju berlabel partai. Bahkan diam – diam ada yang bagi - bagi uang. Apa pun caranya masyaallah semua ditempuh dengan tidak lagi memperhatikan etika dan estetika. Yang penting adalah mendapat kemenangan. Ada partai yang menyatakan dirinya bersih dan ada yang membawa-bawa agama, padahal partainya itu tidak sama sekali mencerminkan agama.
Ya Allah yang lebih miris lagi, ada partai yang menyatarakan partainya dengan “ Ka’bah “. Ka’bah adalah tempat yang maha suci bagi umat Islam se dunia.
Astagfirollah ! **** Arsyad Indradi.

Minggu, 21 Desember 2008

Ensiklopidia yang aneh !

Membaca tulisan An Siswanto ( http://www.lakeinnisfree.blogspot.com ) “Ensiklopidia yang aneh : Sunday Oliseh dalam Citizen Journalism.” An mencari bahan bacaan tentang Citizen Journalism di Google Search pencarian adalah Wikipedia. Tetapi yang An temukan adalah Sunday Oliseh di bawah lema Citizen Journalism! Sunday Oliseh adalah seorang pemain sepak bola asal Nigeria, seangkatan dengan Nkwanko Kanu, mantan striker Arsenal, dan Jay Jay Okocha, playmaker timnas Nigeria. An tahu betul karena An adalah "gibol". Nah, masuknya nama Sunday Oliseh ke lema Citizen Journalism membuat An tertarik. Apa hubungan Oliseh dengan jurnalisme? Setelah sekian telusur An tak menemukan keterangan tentang Oliseh yang terkait dengan dunia jurnalisme. Di dalam ensiklopedia yang sama, Sunday Oliseh yang kata-katanya dikutip untuk menerangkan Citizen Journalism adalah Sunday Oliseh yang itu. Dan tidak ada keterangan lain yang menunjukkan hubungan yang jelas antara Sunday Oliseh yang itu dengan Citizen Journalism.Akhirnya, An menarik hipotesis bahwa tak selamanya Wiki, yang banyak dirujuk orang itu, memberikan informasi yang akurat.
Setelah membaca tulisan An Iswanto ini, saya ingat pada Balai Bahasa Banjarmasin menerbitkan”Ensiklopidia Sastrawan Kalsel “ ( 2008 ). Ensiklopidia tsb akhirnya mendapat tanggapan yang gencar dan tajam dari Sastrawan Kalsel. Sastrawan Kalsel mengatakan bahwa Ensiklopidia versi BBB tsb antara lain : Kurang lengkap kalau di bandingkan buku “ Sketsa Sastrawan Kalsel “yang dihimpun oleh Jarkasi dan Tajuddin Nur Gani diterbitkan Deppennas Pusat Bahasa Balai Bahasa Banjarmasin, 2001 padahal bahannya banyak diambil dari buku tersebut tapi tdk mencantumkan sumbernya. Menyajikan biodata yang tdk relevan dengan kesastraan, photo yang tertukar. Tdk termuatnya tempat – tempat berdiskusi para sastrawan, jurnal, bulletin sastra, Antologi Puisi, Antologi Cerpen dan Novel yang telah diterbitkan, secara lengkap. Pada lema, masih banyak para sastrawan terkemuka belum dicantumkan. Dan banyak tanggapan lainnya yang sebenarnya dapat dibutiri, tapi ada satu hal yang sangat menarik dan perlu direnungkan adalah “ untuk mewujudkan sebuah ensiklopidia , penyusun memerlukan langkah-langkah kerja yang sistematis, bukan sekedar “memulung” informasi dari sana-sini lantas menyusunnya secara alfabetis. Saya tidak tahu pasti apakah ensiklopidia versi Balai Bahasa Banjarmasin ini sudah tersebar secara umum atau tidak. Tapi mungkin telah dikirim ke Pusat Balai Bahasa di Jakarta. Hemat saya ensiklopidia tsb jangan disebarkan secaca umum, seperti halnya buku Ensiklopidi Sastra Indonesia ( ESI ) terbitan Titian Ilmu Bandung ( 2004 ) agar jangan menyesatkan pembaca, sebelum ada revisi. Dan saran saya secepatnya pihak Balai Bahasa Banjarmasin mengundang sastrawan dan pihak-pihak lain yang terkait untuk bekerjasama merevisi ensiklopidia tersebut.*** Arsyad Indradi

Jumat, 19 Desember 2008

Komentar : Usai Aruh Sastra V Kalimantan Selatan

Pada hakikatnya niat dan tujuan mengadakan Aruh Sastra adalah ajang silaturahmi para sastrawan, menampilkan karya masing-masing daerah kabupaten dan kota yang berada di Kalsel, dan mengevaluasi perkembangan sastra di daerah masing – masing dan Kalsel secaca umum. Kemudian hasil dari evaluasi itu dibutiri baik yang sudah maju atau yang masih kurang, semuanya dihimpun dalam sebuah rekomendasi baik yang bersifat internal mau pun eksternal. Seterusnya, setiap pelaksanaan Arus Sastra berikutnya dibuka grafis perkembangan sastra Kalsel tersebut agar menjadi cermin pelaksanaan Arus Sastra berikutnya.

Selama ini kita berharap bahwa Aruh Sastra yang setiap tahun diadakan itu memenuhi apa yang dimaksud di atas. Hemat saya kalau akan mengadakan Arus Sastra berikutnya itu idealnya harus sudah punya program acara yang disepakati dalam sebuah forum dengan melihat dan mempertimbangkan dari hasil setiap pelaksanaan Aruh Sastra.

Aruh Sastra yang sudah berjalan lima kali ini yakni Aruh Sastra V se Kalsel di Kabupaten Balangan, Paringin 12-14 Desember 2008 tentu ( hendaknya ) membawa kepuasan perkembangan kesastraan Kalsel dan siap terus meningkatkan manakala masih ada kekurangannya. Kekurangannya itu termasuk dari segi kesiapan panitia dengan segala tetek bengek lainnya tapi paling tidak meminimalkan kekurangan itu. Saya yakin Aruh Sastra yang keenam yang akan dilaksanakan di Kabupaten Barito Kuala, Marabahan ( 2009 ) nanti melunaskan harapan kita itu. Semoga. *** Arsyad Indradi

Selasa, 16 Desember 2008

PENYAIR ANGKATAN 70


Menurut versi Data – Data Kesenian Daerah Kalimantan Selatan yang disusun oleh Team Pengolahan Data Penunjang Pengembangan Kesenian Proyek Pusat Pengembangan Kesenian Kalimantan Selatan 1975/1976 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provensi Kalimantan Selatan, Penyair Angkatan 70 adalah sebagai berikut : Ajamuddin Tivani, Arsyad Indradi, Ajim Arijadi, Ibramsyah Barbary, A.Rasyidi Umar, A.Ruslan Barkahi, Bachtiar Sanderta, Sabri Hermantedo, Ismail Effendi, Eza Thabri Husano, Hamami Adaby, A,Mujahiddin S, Abdul Karim Amar, Roek Syamsuri.
Salah satu Penyair Angkatan 70 dan Puisinya :

Arsyad Indradi

Arakan Keranda Batu
: aksi solidaritas (1)

hari ini delapan Februari
keranda itu telah kami usung
di puncak tugu bundar
menuju pemakaman
yang kami bangun sendiri
dari bongkahan api hatinurani

16 seniman mengepal tangan
tak ada kata lain
kecuali lawan
kemunafikan

melintas cakrawala
sebab demokrasi telah terpidana
di negeri tercinta

kami usung keranda ini
dengan linangan airmata api
dengan langkah pasti :
Kembalikan Arief Budiman !

Banjarmasin, Selasa Sore,8 Februari 1972



Pemakaman Demokrasi
: aksi solidaritas (2)

16 karangan bunga berselempang langit jingga
lagu padamu negeri dan syukur berkumandang
dari lautan hati yang gemuruh

badai selaksa duka
requiem lahir
sepanjang alir airmata
wajahwajah yang luka
tangantangan bersimpuh doa
matahari jelaga

16 karangan bunga berselempang langit jingga
hari ini kami risalahkan
semua padamu negeri tercinta
ia akan bangkit kembali
dan terpahat di dada
hari ini
di tanah pusaka ini
kami telah tiada sangsi
hanya ada satu pilihan
perang melawan tirani !

bjm, 8 Februari 1972


Hidup Diburu
: aksi solidaritas (3)

Hari ini gerimis mulai turun
malam pun mulai kelam
tekad baja erat lekat di dada
dari tugu bundar menapak sepanjang kota
kaki tak pernah gentar membela yang benar

sajaksajak melontarkan kegelisahan
atas ketiadapastian hukum di negari tercinta
lagulaguduka didendangkan

dari kakilangit
Jeep Pol 1312 memuntahkan pasukan perintis
mengepung dari segenap penjuru
tapi laut yang tenang telah kami badaikan
sepanjang khatulistiwa
sepanjang poros bumi yang berputar
dan pasukan itu pun tak bisa berbuat apaapa

gerimis telah menjadi hujan
kami dijebak dalam sebuah bus
ke padang perburuan

bapakbapak jangan kau anggap kami ini
bertendensi anjinganjing politik
sebab politik itu kotor sekali
di sini aspirasi atas persamaan kepentingan
dan kesadaran melihat ketidakpuasan situasi negri tercinta

apalah sebuah seltahanan
apalah pasal 510 kuhp dijeratkan
takkan surut melawan kemunafikan

sungguh wartawan foto yang sejak lama
mengikuti arakarakan perjuangan
filmnya dibredel oleh kepolisian
dan mulut koran di banjarmasin
di kunci dengan surat sakti

hari ini sembilan februari
16 mentari pagi
mengadakan upacara hidmat merahputih
di halaman komres jalan s.parman
orangorang pada tabjub mendengar padamu negeri
mengetuk setiap hatinurani

Banjarmasin, 1972

Sabtu, 06 Desember 2008

HATI-HATI PENIPUAN

Gebyar Promo Attack 2008

Aku tak pernah berpikir sebelumnya akan memilih sabun mandi lain ketika di sebuah toko. Aku kehabisan sabun mandi. Entah apa aku memilih sabun mandi yang tak biasa kupakai. Setelah masuk kamar mandi aku membuka kemasan yang memang cukup menarik. Attack – Easy demikian tertera di bungkusnya. Tiba-tiba mataku nanar menatap sebuah kupon bentuknya agak kecil disertai Surat Pemberitahuan bersama sabun mandi yang harum baunya. Aku menunda mandi sejenak untuk membaca kupon dan Surat Pemberitahuan bernomor 34081/kao/8/2/2008. Di surat itu tertera tanda tangan dan stempel yang bertulis Dirut PT KAO Drs H. Sigit Purwanto SE, Disahkan Oleh Polda Metro Jaya Irjen Pol Adang Firman, Departemen Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Drs Sudarmin MM, Notaris Muhammad Bachtiar SH.MH. Di kupon ada petunjuk gogok disini. Lalu kugosok plastik transparan di sudut kanan, nampaklah tulisan “ Selamat Anda Mendapat Hadiah Kijang Inova “. Selesai mandi, nomor telpun yang tertera di sudut kiri 021-32379881 dan 021-91870838 kuhubungi. Hubungan terhubung dan masing-masing memperkenalkan identitas. Kemudian terlibatlah pembicaraan yang panjang. Katanya : “ Mobil siap akan dikirim via Hercolis dan langsung diantar ketempat “. Lanjutnya : “ Karena ini sudah menjadi peraturan perusahaan sebelumnya Anda harus mentransferkan uang sebesar 4 juta . Uang ini sebagai biaya pengiriman dan biaya administrasi balik nama kendaraan. Uang Anda tidak akan hilang sebab akan dikembalikan “. Aku bertanya tolong infokan alamat PT.Kao Indonesia ini. Dia yang mengaku dirutnya menyebutkan alamatnya ( kurang jelas dan kesan gugup ). Begini kataku : “ Aku akan ke Jakarta mengantarkan uangnya langsung keperusahaan ini “. Mendengar ini dia menekan nada suaranya : “ O, peraturan tidak memperkenankan uangnya diantar tapi dikirimkan”. Tak terasa aku tertawa. Mendengar tawaku ini dia rupanya berang : “ Saya tak pernah menemui orang yang mendapat hadiah susah diatur “. Aku tidak mau lagi melanjutkan pembicaraan konyol ini sebab pembicaraan diselingi perdebatan sudah berjam-jam, lalu kututup telpun tanpa permisi sebab aku pikir yang beruntung dalam hal ini adalah perusahaan telkom. Aku bayar pulsa. Dan sangat disayangkan PT Kao Indonesia mungkin tidak mengadakan kupon berhadiah tapi dimanfaatkan oleh oknum mengambil keuntungan atas nama perusahaan ini. Dan sepatutnyalah PT Kao Indonesia secepatnya mengklarifikasi masalah ini di media cetak, televisi maupun internet.*** Arsyad Indradi.

Rabu, 03 Desember 2008

" KALALATU " BALADA ATAU MANTRA ?



Oleh : Dr. Sudaryono,M.Pd

Dosen FKIP Unipersitas Jambi





Jika Ajip Rosidi punya “Jante Arkidam “ dan Rendra punya “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo” atau “Mencari Bapa”, seorang Arsyad Indradi (Penyair dari Banjarbaru,Kalimantan Selatan) punya “Bagandang Nyiru”, “Kakek Adul”, “Nama Terpuji”, “Terbang Burung”, “Nini Aluh”, “Harumi Tanah Banyu”, “Nisan Berlumur Darah”, “Dundang Duka Seribu Burung”, dan lain-lain.Balada selalu menarik dibicarakan karena di dalam puisi jenis ini tampil karakter tokoh atau sesuatu yang ditokohkan. Ajip Rosidi menampilkan karakter Jante Arkidam, yang digali dari khasanah budaya Pasundan, Jawa Barat. Rendra menampilkan sosok manusia Jawa dalam sajak-sajak balada yang digubahnya.

Dalam proses kreatif penulis sajak, atau dalam perkembangan seorang penyair dalam dunia kreatif, hampir dapat dipastikan pernah memilih balada sebagai cara ungkap. Dimas Arika Mihardja (penyair Jambi), misalnya pernah menulis “Malin Kundang” dalam bentuk balada yang memikat banyak orang sehingga sering dipentaskan baik dalam dramatisasi puisi, musikalisasi puisi, maupun forum baca puisi. Tidak setiap penyair berhasil menggunakan format balada untuk mengaktualisasikan ide-idenya. Ajip Rosidi meskipun pernah menghasilkan “Jante Arkidam”, tidak Rendra boleh tergolong penyair yang paling kuat menulis balada, terbukti banyak sajak yang ditulis Rendra, misalnya “Balada Orang Tercinta”,”Balada Sumilah”, “Balada Lelaki Tanah Kapur”, dan lain-lain. Rendra kuat menghasilkan sajak balada, sebab latar belakang penguasaan teater meronai balada-balada yang ditulisnya. Balada memang dekat dengan kemampuan olah teater.Penyair yang juga menguasai teater biasanya berhasil menulis sajak jenis balada ini.

Arsyad Indradi, sebagai penyair yang tumbuh dan besar di daerahnya berhasil menulis sajak-sajak berjenis balada yang dibaurkan dengan mantra dalam bahasa Banjar—dan penyair ini bermukim di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Sajak-sajak bahasa Banjar dan terjemahan dalam bahasa Indonesia dihimpun dalam buku Kalalatu (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru,2006). Buku ini memuat 70 sajak yang ditulis dekade 1990-an hingga 2000-an.Kalimantan dalam peta sastra nusantara tak bisa diremehkan, sebab di pulau ini ada Korrie Layun Rampan, Ajamuddin Tifani (almarhum), Hamami Adaby, Micky Hidayat, dan tentu saja Arsyad Indradi.

Balada yang disuguhkan dalam buku Kalalatu ini tentu saja tidak menampilkan pengertian balada secara teoritis, melainkan penyair Arsyad Indradi hanya mengambil dan menampilkan ruh balada dan dipadukannya dengan kekuatan mantra. Dengan kata lain, balada yang diciptakan oleh penyair Banjarbaru ini telah mengalami apa yang disebut eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan, dan efek yang difungsikan) dan dikawinkan dengan sajak berjenis mantra.

Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metafor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merengsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut.

Marilah kita simak balada yang memiliki kekuatan magis seperti mantra yang digubah oleh Arsyad Indradi. Dalam sajak “Bagandang Nyiru” (menabuh tampah), tampil tokoh Ainun, Juhri, Kakek Adul, dan Nini Aluh. Ainun digambarkan sebagai teman sepermainan Juhri dan Juhri mewakili tokoh yang bisa dijadikan teladan, “Juhri yang berkaki panjang sebelah/tapi pintar bagimpar dan bagipang/di kampung namanya terpuji/”. Masyarakat memandang hormat dan bersahabat pada Juhri yang membawa “handayang dan suluh/Riuh bergendang tampah sambil memanggil nama Juhri/”. Ciri khas balada dan mantra tampil melalui repetisi seperti ini : “Sungai semakin mengalir deras Juhri pulang/Juhri pulang/Juhri merasa semakin juga terbawa arus/ ...Juhri pulang/ Kau dimana Juhri/ Cepat pulang”. Sosok Kakek Adul dan Nini Aluh ditampilkan sebagai tokoh masyarakat yang mewakili “tuo-tuo tengganai” atau “pemangku adat” yang disegani. Peristiwa tragis yang menimpa Juhri lantaran hanyut di sungai dikemas secara halus, namun tragik. Di sini juga tampak muatan lokal (local colour) yang disajikan secara arif oleh penyairnya.

T Tokoh Kakek Adul selanjutnya tampil mendominasi pada sajak berjudul “Kakek Adul”. Siapa Kakek Adul, apa masalahnya, dan bagaimana keberadaannya ? Kakek Adul digambarkan sebagai cermin : Kakek cermin bagi kami”. Hal ini disebabkan bahwa Kakek Adul adalah representasi adat-istiadat, sumber petuah, sumber berbagai ajaran tentang kehidupan. Kita simak : Bila tinggi sekolahnya jangan dilupakan juga/adatistiadat dan petuah orang bahari/Hidup ada aturannya tungai/ Jika terlanggar pamali/Ini dikatakan tahyul/Permisi lewat di hadapan orang tua/Pamali duduk di muka pintu waktu hari senja/Anak beriman ingat dengan waktu/Pelihara sangkar bumi dan sangkar langit/kita di dalamnya di bibir tiada lepas dengan thayyibah/ di ruas jari kita jangan tertinggal tasbih/Bila tidur bantal kita syahadat/ Selimut kita zikir …. “. Kakek Adul adalah sosok manusia yang arif, disegani, dan penyayang anak-cucu, dan acuan dalam menjalani kehidupan.

Tokoh Nini Aluh, sebagaimana juga tokoh Kakek Adul, merupakan wakil dari sosok orang tua yang nasihat-nasihatnya pantas diteladani lantaran memiliki kesaktian. Sosok Nini Aluh ini secara lengkap dapat kita tangkap melalui penggambaran : “ Di banua banyak orang berobat pada nenek/Jika kena pulasit parang maya atau termakan racun/ Dan beliau seperti membuangi klimpanan/Cah jika ular saja tidak mempan mematuk beliau/dimasukan beliau dalam tapih”. Kekuatan balada dan mantra, antara lain tampil melalui deskripsi atau narasi dengan eksplorasi intuisi dan imajinasi, serta melakukan sintesis baik pada lapisan bunyi (lapisan lambang-lambang bahasa sastra), lapisan arti (sejumlah makna yang terpendar oleh lambang kebahasaan), maupun lapisan dunia metafisis (dunia pengucapan, tujuan,dan efek yang difungsikan).Kita simak sajak “Nama Terpuji” berikut


Harum setanggi pudak melati berenteng di gelung dua

Bergelang emas berkalung emas bersusun bertingkattiga

Berwajah cantik berharta banyak apalah artinya

Apalah artinya jika adat budi bahasa tidak dipakai tidak dijaga

Banyak orang berperilaku banyak menanam nyiur

Padahal handayangnya gugur memperapas

Peribahasa menyatakan “ Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama”. Manusia mati meninggalkan nama ini dijadikan entry bagi penyair untuk mengekspresikan pemikirannya. Sajak yang mengandung ajaran luhur seperti itu, tampil juga dalam sajak “Sayang Gunung” seperti ini :


Bumi yang dipijak

Langit yang dijunjung

Siapalah lagi yang memelihara

Jika kita juga tidak ikut membangun

Rusaklah binasa

Jauhkan bala

Sayang gunung

Sampai jauh batas suara burung

Sayang gunung

Sayangi tanah air hutan belukar


Seterusnya, sebagai hasil kreasi, sajak-sajak balada dan mantra karya Arsyad Indradi menampakkan adanya keaslian (orisinalitas), kejelasan (lantaran pilihan kata yang tepat, penggunaan metaphor, dan kesatuan imaji), memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing, dan penggunaan enjambemen), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memberikan daya ajuk), asosiatif, dan menampilkan cerita secara runtut. Kita simak beberapa penggalan berikut ini.


“Berdeburan angin beruap panas/Diketinggian gunung hauqalah bau harum/ kembang al kautsar semerbak/Kupegangi erat jazim dalam dadaku/Kuiringi kemana


terbang hinggap kupu-kupu … Jangan sungkan masuklah /Beradab dengan shalawat/Nyalai kamarnya dengan ma’rifatullah/Bukai jendelanya dengan nuruttajali” (“Terbang Burung)”.


Sementara itu, sajak yang kental nuansa mantranya tampak pada sajak “Darahseperti ini : Adalah langit darah berdarah/Tak habishabis jadi laut berabadabad telah/ tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas darahku membatubara/dikunci rahasia Alifmu Alif Alif/ darah Adamku yang terdampar di bumi/ yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku/yang rapuh tersesat di belantaramu meraung/darah laparku/mencakarcakar mencari darahku/ beri aku barang setetes Hu Allah/getar alir napas menyeru darahmu mengalir darah mataku/mengalir darah musafir di sajadahmu/mengalir menuju rumahmu.


Kekuatan magis dengan pola ungkap mantra, seperti pernah dilakukan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan “ O, Amuk, Kapak “nya, dapat kita rasakan dalam larik-larik sajak “Darah” berikut :

darah hidupku Hu Allah

darah matiku Hu Allah

darah hidupmatiku Hu Allah

darah raungku Hu Allah

darah cakarku Hu Allah

darah laparku Hu Allah

darah hausku Hu Allah

darah ngiluku Hu Allah

darah rinduku Hu Allah

……….


semesta bergoncang Hu Allah

arasy pun bergoncang Hu Allah

darahku aujubillah

darahku astagfirullah

darahku subhanallah

Allah


Sajak “Darah” yang berdarah-darah ini niscaya memiliki kekuatan magis setara dengan sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Arsyad Indradi dalam sajak “Darah” ini berhasil menggali potensi budaya Melayu dengan tradisi mantranya. Ciri-ciri mantra yang memukau (lantaran permainan bunyi, pemanfaatan gaya bahasa, foreshadowing , dan penggunaan enjambemen ), sugestif (dapat merangsang secara asosiatif dan memeberikan daya ajuk), dan membius lantaran ketepatan ungkapan dengan kata-kata kongkret. Tak pelak lagi, sajak “Darah” mewakili keberhasilan Arsyad Indradi sebagai penyair yang pantas diperhitunghkan. Sekian, salam budaya.

Jambi, 23 Januari 2008

( Radar Banjarmasin, Minggu 28 Januari 2007
Ingin tahu Esai yang lain ? Klik Esai Tentang Arsyad Indradi




Arsyad Indradi

SENJA Di TANAH LOT


Dengan sabar aku menunggu
Sementara gulungan ombak menggemuruh
Di pantai yang sunyi
Berkalikali kukubur fatamorgana
Agar aku dapat melihat seluasluas laut


Kuserahkan diri pada pecahan ombak di batubatukarang
Debar jiwa di mataharimerah diseliputi awan
Langit telah melahirkan senja


Bersuntingbunga dan beras antara dua alis
Kubuihkan sukmasejatiku di mataombak yang kemilau
Yang menggitakan ayatayat utsaha dharma
Aku masih menunggumu, kekasih

Bali, 2008

Selasa, 02 Desember 2008

Arsyad Indradi

DI ATAS RANJANG WAKTU


Kuhempashempas tubuh
Agar muncrat api
Raya Puncak muntah salju
Tubuhku beku


Tak ada api, kaukah api
Tak ada tungku, kaukah tungku
Ah begitu jahanamnya malam


Tak lelehleleh
Setiap erang kuhempashepas
di batubatu rindu


Kau berkata : Membaralah dalam tubuhku
Hingga puncak ekstase
Di atas ranjang waktu


Bogor, 2007

Arsyad Indradi

MALAM PENUH RIWAYAT

: Diah Hadaning


Masih terjaga ketika kau berkata : Kita bukan bayang yang tenggelam
dalam tabir kelamnya. Biarkan hanyut, melata seperti ular.
Lidahnya menjulur melahirkan riwayat dan matanya
Lihatlah meneteskan sajaksajak yang bertuak
Bertuak sepanjang malam. Aku mabuk dalam bulan Meimu
Mabuk kembangapi muncrat dari usiamu yang panjang
Aku berbisik : Izinkan aku mencium aroma tanganmu


Malam itu beribu riwayat. Tak lelah sedikit pun menatap lalulintas
jalan kehidupan sepanjang Cikini Raya
sampai TIM itu kelelap tenggelam seribu diam
Kita kemudian terus juga berjalan sepanjang trotoar
dan bertambat di lobi Alya Hotel, kembali bersulang


Kita bersitatap : Sungguh masih begitu bening bola matamu
Lalu kita mencuci impian digema azan dini hari
Dan kau berkata : Sungguh eloknya surya bangkit nun di timur
Bulan Mei selalu ada di bulan Desembermu : bisikmu penuh rahasia
Lalu berlari masuk bus dan lenyap dari pandangan


Di seberang jalan aku masih berdiri menatap bayangan
yang semakin menebal dalam kenangan


Jakarta, 2007

Arsyad Indradi

Gerimis

Gerimis setiap ada luka
Tapi luka langit mengalirkan
bianglala biasan mata
lantaran gerimis selalu
membasahi setiap langkah kita

Gerimis adalah nestapa
Senantiasa tak pernah beranjak
dari setiap luka

bbaru, 2008

( Puisi ini ku sms kan buat Penyair Jambi Dimas Arika Mihardja dalam " Upacara Gerimis "nya )