Lumpur Lapindo

Sabtu, 29 November 2008

SAJAK-SAJAK ARSYAD INDRADI DI REPUBLIKA, Ahad, 24 Feb 2008

SYAIR GURHAH

Siapa membaca syair gurdah
Di tengah malam ketika bulan memancar
Rumahrumah dan pepohonan pada tafakur
Menyingkap liriklirik yang dihampar angin

Mataku berlinangan membaca diri
Di alun terbang
Dalam dendang doa dan pujian

Bulan memancar
Bulan penuh di dalam dada
Memancar Subhanallah

Kemana kita menyempurnakan harapan
Ke sana kita menghadap menyerahkan diri

Banjrbaru, 2006


SENJA LURUH

Dangau sesak dengan cahaya redupredup
Persawahan yang lama terbengkalai
Dia terhampar di atas tumpukan jerami
Duhai lama nian menunggu
Cepatlah lepaskan tali kehidupan
Cepat ambili

Ruh yang turun di atas bumi
Yang mengandung bau cendana
Menghembus liar di padang banta
Langit berawan habiskan selaksa belalang
Terbang menjelajahi padang ilalang
Ambil daku yang membuat cinta
Yang aku sendiri merindu
Penat tiada terkira
Menanggung dalam raga

Duhai ambilkan semua warna ruhku
Ciuman kasih dan nista
Aku silau dalam cahayaku yang lelah
Burungburung kehilangan pengepak sayap
Langit dan hutan membungkus ruhku
Masuk dalam mimpi abadi

Banjarbaru, 2004


MUSAFIR

Tidak lebih yang kupinta cuma doa
Melunaskan airmata harikehari
Yang jatuh ke jejak langkah
Setiap aku menulis risalah
Perjalanan dalam puisi

Doa adalah titian
Penyeberangan
Menuju batas
Kembali ke akhir
Menyempurnakan nafas

Banjarbaru, 2006


KEMARAU

Siapa menghentak kurungkurung
ke penghabisan suara burung
jalan setapak mencari batas
hari beruap panas
menyusur suara keririang memilu
di selasela kayukayuan
sewaktu matahari menusuk

Ketika menyeberang guntung
kau berkata :
Siapa yang menghentak kurungkurung
di penghabisan suara burung
senantiasa panas menggantang

Tanah huma seperti siput dipepes
sunyi tiada berdaya
dalam letupan buah para
dikunyah matahari

Banjarbaru, 2005

Selasa, 25 November 2008

Buku Arsyad


Dunia kepenyairan punya banyak ‘orang gila’. Salah satunya, Arsyad Indradi Salah satu kegilaan penyair senior Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ini adalah rela menjual tanahnya untuk membiayai penerbitan buku antologi puisi. “ Dia sampai harus menjual tanahnya untuk buku itu, “ kata penyair Banjarmasin, Micky Hidayat.Antologi puisi yang dibiayai Arsyad dengan sebidang tanahnya itu memang bukan buku sembarangan. Buku bertajuk 142 Penyair Menuju Bulan yang diterbitkan melalui Kelompok Studi Sastra Banjarbaru ( KSSB ) yang didirikannya itu berisi 426 puisi karya 142 penyair Nusantara sejak yang baru muncul sampai yang paling senior. Termasuk, sajak – sajak presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.Di tengah tebaran ratusan buku antologi sajak di Tanah Air, kehadiran buku 142 Penyair Menuju Bulan itu tentu menjadi sangat penting, karena merangkum hampir semua penyair Indonesia dari semua generasi. Buku tersebut tidak hanya telah mendokumentasikan karya – karya mereka untuk diabadikan, tetapi juga untuk dapat menjadi rujukan penting penulisan sejarah perkembangan perpuisian di Nusantara. Karena itu, pengorbanan dan dedikasi Arsyad (semoga) tidaklah sia – sia.Selain Arsyad, dunia kepenyairan Indonesia banyak memiliki penyair yang sering menunjukkan pengorbanan dan dedikasi yang luar biasa pada sastra Indonesia. Di Mataram, NTB, misalnya, ada penyair senior Dinullah Rayes, yang sering harus menjual kudanya untuk biaya kegiatan sastra dan mengikuti acara di luar kota. Luar biasanya, meskipun rumahnya belum lama ini ludes terbakar, Dinullah masih saja dengan penuh semangat menghadiri acara – acara sastra di Jawa secara swadaya.
***
Jika inti kepahlawanan adalah kerelaan berkorban untuk bangsanya, maka Arsyad Indradi dan Dinullah Rayes adalah pahlawan sastra. Keduanya rela mengorbankan apa saja untuk ikut memajukan kesastraan bangsanya, tanpa peduli waktu, jarak, dan usia. Apa lagi sekadar berkorban harta, mereka akan rela – rela saja.Karena itulah, ketika menjadi pembicara pada The Ist International Poetry Gathering di Medan tahun lalu, saya sempat mengusulkan agar pemerintah dapat memberikan penghargaan khusus untuk penyair – penyair seperti Arsyad dan Dinullah. Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film, Mukhlis Pa’Eni, yang saat itu tampil sebagai keynote speaker, menyambut baik ide tersebut. Namun, realisasinya memang masih harus kita tunggu.
( Ahmadun Yosi Herfanda )
Dari : Harian Republika, minggu, 24 Februari 2008 dan http://www.republika.co.id

Senin, 17 November 2008

SETANGKAI BUNGA DALAM SERIBU AROMA EKSPRESI CINTA LELAKI BANJAR






Oleh : Diah Hadaning (Warung Sastra DIHA,Bogor)

... Sempurnakan jerit setangkai bunga/Agar mimpi jangan gelisah/Waktu pagi dibasuh tangisan kecil/Tapi aku tak ingin siapa pun/Mengusik ujung kelopaknya/Sebab setiap tetes embun/Adalah suara rintihan riwayat/Kerinduan/ Tak perlu jambangan/Sebab akulah jambangan setiap rintihan/Tuhan kutaruh keyakinan/Jangan kau sembunyi di balik anganangan...” (Arsyad Indradi: Romansa Setangkai Bunga) Ekspresi cinta atau kata-kata pujangga yang sarat makna ? Tentu hanya sang penyair dan Tuhan yang mengetahui. Pembaca adalah penikmat yang ‘ bersih tanpa pisau bedah, membiarkan hati terbuka.

Romansa Setangkai Bunga “ yang diangkat dari judul puisi pertama merupakan ‘pernyataan’ penyair pada dunia (seni) yang mengetengahkan etika dan estetika serta tetap percaya pada kata, modal penting bagi penciptaan puisi.

Jagad kecil dan jagad agung yang menyatu, sang diri dan Tuhannya yang saling tahu, nyata sebentuk keindahan yang tak akan pernah pudar dari jagad kepenyairan seseorang. Semua bisa memesona manusia dalam ‘seruas waktu’ : pagi,embun, bunga, mimpi, kerinduan, tempat, dan jiwa, adalah nuansa percik-percik kasih sayang.

Bagi seseorang, banyak cara untuk mewujudkan mimpi yang menyatu dengan kenyataan serta harapan. Puisi merupakan salah satunya selain sebagai saksi jaman dan saksi perjalanan usia. Bagi Arsyad Indradi ( Barabai, 1949 ), puisi mempunyai makna yang cukup pribadi. Manusiawi jika seorang penyair juga ingin mengenang masa muda, bagian awal dari perjalanan panjang anak manusia dalam menjalani kehidupan. Tentu saja termasuk di dalamnya, persahabatan karunia yang memperkaya jiwa – dan juga kebersamaan yang selalu menambah pengalaman, itu memberi nuansa kebahagiaan tersendiri.

Hal-hal itulah yang ingin dituangkan penyair dalam antologi puisinya berisi 85 judul bertajuk ‘ Romansa Setangkai Bunga ‘. Menikmati ‘ bunga rampai album puisi cinta Arsyad Indradi’ yang bertitimangsa periode 1970 – 1979, 1980 – 1988, 1993 – 1998, dan 2000 – 2006, pembaca dibawa memasuki taman bunga dunia kata. Yang terhampar adalah warna-warna yang elok, bersih, dan santun. ‘Pakem’ perpuisian merupakan suatu nilai yang tetap dipertahankan sang penyaair.

Sebagai puisi bernuansa cinta tentu banyak ungkapan tentangnya seperti terwakili dalam kata-kata cinta, asmara, rindu, sunyi, senyum., tangis, dan isak sembilu mendaki mimpi-mimpi (spesifik Arsyad ?). Juga bisa ditemukan idiom-idiom yang unik seperti larva bintang, semak ganggang, serbuk bintang, serbuk ganggang, musik batu kolam (sebuah judul puisi hlm 80, ditulis 1985).

Lebih lama menyimak lebih terasa nafas konfensional yang nampaknya memang menjadi bagian dari gaya penyairnya. Namun ada juga yang terasa kenes seperti diwakili oleh judul puisi Di Kolam Garden City Waktu Pagi, Aku tersesat dalam Gumpalan Pekat, Renjana, puisi-puisi yang ditulisnya tahun 1977, pada saat penyair berusia 28 tahun.

Puisi-puisi dalam ‘RSB’ sesuai dengan maksudnya, kental dengan aroma cinta. Sebagai contoh, Puisi Kau Kirim Gerimis memuat impian-impian yang wajar pada orang muda usia (21 tahun). Tapi ia juga telah bicara tentang ajal, kegamangan serta kecemasan-kecemasan. Semuanya menjadi bagian dari nuansa jiwa seorang penyair, sedang tumbuh maupun telah menemukan ‘dunianya’.

Di tahun 2006 pada saat penyair berusia 57, masih menunjukkan gairah jiwa muda ‘ yang kaya aroma anggur ‘ masih tersimpan hasrat indah ingin memetik dengan lembut bunga-bunga yang bermekaran di hati “sang kekasih’ dan masih memiliki semangat ‘menangkap’ suatu yang bermanfaat bagi dunia kehidupan. Setiap insan yang menjalani kehidupan dan mengusung misi NYA, bukankah harus menjaga yang satu ini ? Menangkap yang bermanfaat !

Ada lagi pada hlm 22, sebuah judul yang akan ada dan terjadi sepanjang jaman, di setiap mana, di setiap siapa, yaitu ‘Kisah Kasih di Suatu Taman’ – sebuah pesona peristiwa kejiwaan, sebuah lukisan indahnya kesetiaan, yang mengingat terbatasnya ruang bisa dikutipkan sebagian dari puisi tersebut. “ Asmara tiada pernah mengenal musim/Bersemi pada siapa pun dalam kehidupan/Mekar dibungakan/Dan wangi pun diharumkan/ ...” Sebuah kisah yang bisa dialami siapa saja ( tanpa beban dosa ? ) – tentunya jika oleh mereka yang masing-masing masih ‘sendiri’. Dalam pengertian, menjalin kisah tanpa merugikan dan menyakiti sesama, bukan ? ( Wahai penyair, jika itu yang dimaksud, itulah keindahan sejati ! ).

Ya, insan seni dalam konteks ini penyair, adalah pencatat jaman, perekam sejarah dalam skala mikro maupun makro. Seniman (sastra) adalah manusia yang diberkahi, maka ia punya pertanggungjawaban moral kepada sang Pemberi, kepada bangsa dan negeri, tempat ia tumbuh, hidup dan berkembang, dan tentunya kepada nurani sebagai insan yang tahu berterimakasih kepada Penciptanya. Arsyad sangat menyadarinya. Menyadari bahwa dunia penyair adalah ‘dunia kata-kata’ maka ia memberi tempat dan kepercayaan yang baik kepada kata-kata.

Arsyad yang baru saya kenal lewat nama dan karya, pada saat saya menulis ini, terasa sekali kami bagaikan sedang berdialog, tukar pikiran, saling memahami dan bisa saling mengerti pada bagian-bagian tertentu. Sepertinya saya bisa meraba hatinya, menggarisbawahi pemikirannya ( ya, tulisan/catatan ini lantas menukik lantaran saya bukan kritikus tapi sesama pelaku seni yang ketemu mitra sewawasan ), jadi perasaan lebih ikut berperan. Bukankah begitu mitraku penunggu bumi Kalimantan yang tetap setia ?

Kita sama-sama tahu bahwa insan seni bukan penonton di pinggir gelanggang melainkan pelaku peristiwa di gelar arena kehidupan. Ia juga bukan pejalan kaki di trotoar yang lewat sesaat lalu hilang bersama perjalanan waktu. Masalahnya adalah bagaimana menjaga semuanya ini relatif berdaya guna baik bagi diri maupun sesama.

Saya yakin setiap penyair yang berangkat dari sebuah kesadaran dan bukan dari ‘ sekedar ‘, sepanjang usia proses kreatif yang tak kenal henti akan selalu berjuang di arenanya untuk tidak pernah ‘ merasa lelah ‘. Senantiasa memadukan intelektualitas, pengalaman hidup ( lahir batin ), keterampilan ‘ mengendalikan ‘ kebahasaan dengan segala perniknya, kemudian membingkai motivasi diri. Semoga

Terbit di Radar Banjarmasin, Minggu 18 Maret 2007 Ingin mengetahui puisi-puisi cinta Arsyad Indradi selengkapnya ? klik Antologi Puisi Cinta Romansa Setangkai Bunga yg terdapat di Daftar Isi

Sabtu, 08 November 2008

Sejarah Perkembangan Kota Banjarbaru

Sabtu, 8 Nov 2008 sekitar jam 12.00, saya kedatangan tamu siswa – siswa SMA Telkom Banjarbaru kelas IX ( 6 orang ), di rumah saya jalan Pramuka Banjarbaru. Maksud kedatangan mereka adalah mewawancari saya tentang sejarah perkembangan kota Banjarbaru. Kegiatan ini dalam rangka tugas yang diberikan sekolahnya untuk menyusun makalah Tema Sejarah Perkembangan Kota Banjarbaru. Mereka sudah siap dengan sejumlah perangkat pertanyaan yang harus saya jawab dan lengkap dengan penjelasannya. Pertanyaan – pertanyaan itu dimulai dengan asal muasal Kota Banjarbaru, sektor kependudukan, geografis, agama, seni budaya, pendidikan, objek Pariwisata dan lain – lain. Dalam tulisan kecil ini saya hanya sedikit menyinggung yakni memaparkan mengenai asal muasal Kota Banjarbaru.

Pada tahun 60-an ada sebuah bukit yang terletak dipinggiran jalan lintas antara dari Hulu Sungai ke Banjarmasin. Perbukitan ini termasuk wilayah Kabupaten Banjar. Di bukit itu ada sebuah warung kecil yang menjual “ apam “ yakni kue yang terkenal di daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Warung ini selalu ramai dikunjungi oleh supir – supir truk pengangkut barang dagangan dan bus penumpang untuk beristirahat sambil menyantap “apam” tersebut. Perbukitan itu akhirnya terkenal dengan nama “ Gunung Apam”. Gunung Apam dan sepanjang jalan lintas tersebut adalah padang luas yang ditumbuhi “karamunting”, buahnya sebesar telunjuk bila masak warna merah kehitaman dan agak manis rasanya dan juga banyak tumbuh pohon karet yang tak terawat. Di bukit itu karena ramai maka tumbuh rumah – rumah sederhana pindahan dari penduduk Hulu Sungai dan dari Pulau lain terutama dari Pulau Jawa. Selang beberapa tahun Gunung Apam menjadi sebuah perkampungan, yang di beri nama “ Banjarbaru”. Semula ada dua pendapat penamaan kampung tersebut yaitu Banjarbaru dan Banjarpura. Tetapi penduduk dan tokoh masyarakatnya memilih nama Banjarbaru dengan alasan bahwa “ Banjarbaru “ bersifat netral sedang “ Banjarpura “ merupakan pintu gerbang apabila mau masuk ke wilayah Kabupaten Banjar. Menjelang akhir tahun 1960 Banjarmbaru menjadi Kota administratif yang masih masuk dalam Pemerintahan Kabupaten Banjar. Di Banjarbaru didirikan Kantor Perwakilan Gubernur Provinsi Kalsel dan Kantor Dinas-Dinas Provinsi Kalsel lainnya. Banjarbaru sedemikian maju pesat, baik sektor penduduk termasuk perumahan dan perkantoran yang tertata, ekonomi, Pariwisata, pendidikan, olah raga maupun seni budaya, bahkan dalam wacana akan dijadikan Kota Provinsi Kalimantan Selatan. Pada tanggal 20 April 1999 Banjarbaru menjadi Kota Banjarbaru dengan pemerintahan otonomi. Banjarbaru sekarang ini sudah mencanangkan menjadi kota metropolis. ***** Arsyad Indradi ****

Selasa, 04 November 2008

HASIL LOMBA BACA PUISI DI MUSEUM LAMBUNG MANGKURAT

AUK-Komunitas Pecinta Seni Banjarbaru telah menggelar lomba baca puisi mingggu 2/10 bertempat di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru. Disamping untuk mengenang Hari Pahlawan 10 November 2008 juga bermaksud menumbuhkembangkan minat sastra khususnya baca puisi. Pagelaran itu diikuti oleh tiga kota Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura dengan jumlah peserta 104 orang ( siswa, guru, mahasiswa, dosen, seniman dan sastrawan ). Pemenang mendapatkan piala, piagam penghargaan, uang pembinaan dan bingkisan. Dalam lomba tersebut, dewan juri yang terdiri dari Arsyad Indradi, Ali Syamsuddin Arsyi dan Rudi Karno memutuskan pemenang I Andi Rifai, pemenang II Arif M S, pemenang III Isuur Loeweng dan pemenang harapan Eka Zulma. Acara ini didukung Dewan Kesenian Banjarbaru dan Pemerintah Kota Banjarbaru. Dalam kesempatan itu Ketua Dewan Kesenian Banjarbaru ( Ogi Fajar Nuzuli ) dalam kata penutup pagelaran baca puisi mengharapkan kepada Komunitas Pecinta Seni Banjarbaru agar setelah pagelaran ini mengadakan workshop atau pelatihan pembacaan puisi karena menurut dewan juri peserta lomba masih perlu pelatihan yang serius. Memang penyelenggaraan workshop baca puisi di Banjarbaru akhir-akhir ini belum teragendakan. Kalau bisa workshop di diadakan pada akhir tahun 2008 ini atau selambatnya Januari 2009 dan Dewan Kesenian Banjarbaru akan menudukung pinansilnya, lanjutnya. Seusai pembagian hadiah Teamwork AUK Hudan Nur ( ketua ), Dian Arlika, Riza Fahlivie, M. Yusry Wahyudi dan Miftahddin Munidi bersepakat akan melaksanakan kegiatan ini pada awal 2009 dengan pesertanya prioritas peserta lomba dan tidak menutup kepada yang berminat.