Lumpur Lapindo

Sabtu, 20 September 2008

MANTRA



Mantra adalah ujar-ujar yang merupakan sumber kekuatan spritual leluhur pusaka Banjar ( Kalimantan ). Pada hakikatnya mantra adalah suatu permohonan kepada yang Maha Kuasa yang disampaikan dengan ujaran yang khas dan dengan gaya bahasa yang khas pula dengan keyakinan yang penuh bagi penggunanya.

Namun pada zaman sekarang ini mantra mulai langka. Andai pun ada, pemilik mantra merahasiakan keberadaan mantra dan cuma segelintir orang yang memiliki mantra itu pun hanya merupakan warisan kepada keluarga dan orang – orang tertentu. Ini pun tergantung keyakinan pemiliknya.

Bagaimana kalau ditinjau menurut hadis Rasulullah SAW ?

Di zaman sebelum Islam, Umar bin Khatab adalah seorang yang pandai menggunakan suwuk ( mantra untuk pengobatan ). Ketika Umar masuk Islam hal tersebut dia tanyakan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Nabi meminta Umar untuk memperdengarkan mantra tersebut. Setelah mendengar, Nabi memberikan batasan sebagai berikut : Selama tidak syirik, silakan dipakai mantra tersebut.

Setelah masuknya agama Islam di Kalimantan, mantra mengalami perbaikan yakni sebelum membaca mantra didahului dengan ucapan “ bismillah “ dan di akhiri dengan “ berkat Lailahailallah Muhammadurrasulullah “

Ada beberapa jenis mantra menurut penggunaannya, yakni :

Mantra untuk pengobatan, matra kedigjayaan, mantra pekasih, mantra pagar diri dan mantra untuk mencelakai orang lain. Agar dapat mengetahui beberapa contoh mantra silakan : klik di sini

Minggu, 14 September 2008

MEMPERKENALKAN KAMUS BAHASA BANJAR KUALA

Kamus Bahasa Banjar Kuala ini menghimpun bahasa banjar yang dipergunakan oleh penduduk asli Banjarmasin, Pelaihari dan Martapura. Bahasa Banjar yang dipergunakan oleh suku Banjar ini sebenarnya terdiri dari Bahasa Banjar Kuala dan Bahasa Banjar Hulu Sungai. Perbedaan ini dapat diidentifikasikan adanya variasi – variasi dalam pengucapan atau perbedaan kosa kata, perbedaan pada bunyi ucapan terhadap fonem tertentu dan perbedaan lagu dan tekanan ( non distinctive ). Dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai lebih banyak dan komplek pemakaiannya dari pada dialek Bahasa Banjar Kuala. Dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai meliputi daerah – daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Balangan.

Ada beberapa contoh :

Perbedaan seperti pada kata : unda ( aku, saya ), nyawa ( kau, kamu ), dalam Bahasa Banjar Kuala tidak terdapat dalam Bahasa Banjar Hulu Sungai. Begitu pula seperti kata : padangan, padu (dapur ), balalah (berjalan) dalam Bahasa Banjar Hulu Sungai (BH ) tidak terdapat pada Bahasa Banjar Kuala (BK ).

Kemudian, perbedaan pengucapan fonem tertentu seperti pada kata :

BK : koreng --------- BH : Kuring --------- borok
BK : longor ---------- BH : lungur ----------- botak
BK : gemet ----------- BH : gimit ------------- pelan
BK : ujan -------------- BH : hujan ------------ hujan
BK : sedang ----------- BH : sadang ---------- sedang, cukup

Demikianlah gambaran sekilas Bahasa Banjar Kuala dan Bahasa Banjar Hulu Sungai. Semoga Kamus Bahasa Banjar Kuala yang kami suguhkan ini bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengetahui Bahasa Banjar terutama Bahasa Banjar Kuala. Selengkapnya klik di sini***** Arsyad Indradi *****

Sabtu, 13 September 2008

Kesalahan ini jangan hanya dilimpahkan pada “ Mereka “

Terjadinya tawuran antar sekolah, beredarnya video mesum yang diperankan sepasang pelajar dan kenakalan remaja lainnya, jangan hanya dilimpahkan kesalahan ini kepada mereka, tetapi sekolah, orang tua dan pemerintah mestinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merefleksi diri mengapa semua ini terjadi. Ini disebabkan ada kemungkinan kesalahan dalam mendidik dan memberikan metode pendidikan, jauh dari perhatian orang tua pada anak – anaknya dan pemerintah tak mencukupi tempat penyaluran bakat dan potensi yang positif yang ada dalam diri mereka. Lebih – lebih lagi kita semua harus lebih bijak dan arif menangani perihal ini . Semoga ***

GEMAR MEMBACA

Mari kita renungkan hasil survei Bapak Taufik Ismail gemar membaca di SMU dr 13 negara :

1. Amerika Serikat menghabiskan 32 judul buku sastra selama 3 tahun.

2. Jepang dan Swiss menghabiskan 15 judul buku sastra selama 3 tahun

3. Singapura, Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menghabiskan 5 – 7 judul buku sastra selama 3 tahun.

4. Indonesia = 0 buku.

Setelah melihat hasil survei tersebut, duhai begitu parahnya minat baca kaum generasi muda kita sehingga mereka tak pernah bersentuhan dengan buku – buku sastra meski bertahun – tahun menuntut ilmu di bangku pendidikan ! Apakah fenomena ini merupakan potret gagalnya pengajaran apresiasi sastra di sekolah ?

Jelas, perbaiki sistem pendidikan Indonesia !!!

Sebab, tingginya budaya membaca suatu bangsa merupakan cerminan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki

Sabtu, 06 September 2008

BANGKITKAN SEMANGAT CINTA TANAH AIR, HAI TKI


Harus kita sadari bahwa banyaknya migran yang datang dari negara lain akan menjadikan masalah yang cukup krusial dalam kelangsungan sosial politik sebuah negara. Dan adanya migran jelas merupakan bahaya ekspansi multidimensi bagi negara itu. Seperti halnya Malaysia yang menerapkan pro-natalis.

Bagaimana dengan migran TKI dari Indonesia ?. Inilah masalahnya. Bahwa, Indonesia dihadapkan pada “harga diri “ sebuah negara yang tak pernah beres menangani masalah kependudukan dan lapangan pekerjaan. Tapi kalau ada kemungkinan ketidakseriusan ini memang sengaja membiarkan TKI mengalir ke negara lain adalah upaya mengurangi bentuk kemiskinan dan berpendidikan rendah di Indonesia. Kalau anggapan ini benar ini namanya pemerintah taik anjing ! Dalam pemilu yang akan datang jangan lagi dipilih pemimpin taik anjing !

Selama ini nasib TKI Indonesia selalu ditimpa kesengsaraan, penderitaan, kepiluan dan lain-lain. Oleh karena itu, ini suatu peringatan dan pelajaran bagi TKI sendiri, lebih – lebih TKI ilegal. Masih kita ingat di Nunukan Kaltim, TKI yang diburu, digeledah, diuber-uber sampai terbirit-birit ke perkebunan di tengah belantara, ini disebabkan tidak mengindahkan batas waktu untuk dideportasi meninggalkan Malaysia.

Perlu diingat bahwa pengurusan tenaga kerja hanya menguntungkan agen-agen tenaga kerja saja ! Adakah TKI menjadi kaya setelah bekerja menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kasar di luar negeri ? Nonsen !. Malah menjatuhkan “martabat Bangsa Indonesia” ! Bagaimana pun juga kita adalah bangsa Indonesia dan Indonesia adalah tempat tumpah darah kita, kita harus mencintainya, kalau tidak siapa lagi ! Sebenarnya banyak pekerjaan di negeri kita sendiri, asalkan ada kemauan yang keras, ulet dan disertai dengan doa. Kita acung kedua jempol kepada para pemulung, tenaga kebersihan pengangkut sampah, penyapu jalanan dan pasar, pembantu rumah tangga dan banyak lagi pekerjaan yang halal lainnya.

Bangkitlah hai saudaraku TKI tanamkan kecintaan kita pada tanah tumpah darah Indonesia. Kita lahir di sini dan amat terhormat kita mati dan berkubur negeri sendiri. *** Arsyad Indradi ***

Jumat, 05 September 2008

BAB III,IV DAN V ANTOLOGI PUISI ”KALALATU” DLM SKRIPSI NOOR HANA


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode

Dilihat dari tujuan dan sifatnya, penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode yang memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data, menganalisis dan menginterpretasikannya.

Sesuai dengan teori, kajian sastra khususnya puisi, mempunyai berbagai teknik pendekatan. Teknik pendekatan yang digunakan adalah pendekatan objektif dengan cara melukiskan sifat-sifat utamanya. Pendekatan ini digunakan karena pembahasan mengenai puisi dilepaskan dari siapa pengarang dan lingkungan sosial budaya zamannya, sehingga karya dapat dianalisis berdasarkan unsur-unsur utama yang membangunnya.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

1. Teknik kepustakaan, yaitu teknik dengan cara mengumpulkan bahan acuan yang dapat dijadikan sumber dalam menganalisis karakteristik puisi.

2. Membaca dan memahami puisi. Untuk memahami unsur-unsur utama puisi, maka yang pertama-tama dilakukan adalah membacanya, sehingga dapat mengetahui makna dan keterkaitannya secara keseluruhan. Hasil pemahaman ini dapat digunakan untuk menghubungkan atau menerapkan butir-butir yang telah dibahas pada Bab II dengan beberapa teks puisi pilihan dalam antologi “Kalalatu”.

3.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penulisan ini bersumber dari antologi puisi Arsyad Indradi “Kalalatu” sebagai fokus utama kajian dan buku-buku yang relevan dengan masalah yang ingin dipecahkan.

TEKNIK ANALISIS DATA?

Bab IV Analisis dan Pembahasan

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bahasa lisan selalu dituntun oleh pengujar atau pembicaranya. Sedangkan sebuah teks tertulis memiliki maknanya sendiri setelah dipublikasikan. Artinya, kalau kita terlibat dalam suatu pembicaraan lisan maka maksud pembicara yang belum jelas dapat dipertegas dengan mengajukan pertanyaan kepada pembicara tersebut. Sebaliknya, sebuah teks, dalam hal ini puisi, tidak lagi sepenuhnya tergantung pada penjelasan yang diberikan oleh penyair tetapi tergantung pada tafsir pembaca atas puisi tersebut.

Bab ini berisi analisis singkat tentang puisi dalam antologi “Kalalatu” karya Arsyad Indradi. Dengan memposisikan diri sebagai pembaca, peneliti akan menghubungkan butir-butir yang telah dijelaskan pada Bab II dengan teks puisi dan diterapkan pada teks itu.

4.1 Situasi Bahasa

Kai Adul

Kai caramin mata kami
Tinggal sidin sasaurangan lagi
Nang lainnya sudah habisan
Di tangan kanan wan kiwa wan di batis
Kami mamiciki
Kai tasandar di kursi habis bamamai
Mahinggal wan batuk-batuk
Mun kaya kalalatu kami kada nang waninya
Maitihi muha sidin
Mun tinggi sakulahnya jangan dilupaakan jua
Adatistiadat wan papadah urang bahari
Hidup ada aturannya tungai
Mun talanggar pamali
Nangini dipadahakan tahayul
Babungkuk lalu dihadapan urang tuha
Pamali duduk di muhara lawang wayah ari sanja
Anak baiman ingat lawan waktu
Palihara sangkar bumi wan sangkar langit
Kita didalamnya di bibir kada lapas wan thayyibah
Di ruas jari kita jangan tatinggal tasbih
Mun guring bantal kita syahadat
Salimput kita zikir
Dipahinakan hanya ada nang satu
Dunia tungai bawatas paksina daksina masyrib
Wan maghrib
Aruwah nini ikam rajin maulah baraskuning
Kita naini tayai musafir
Kadada urang lain nang maulahakan jalan kaakhirat
Kita saurang maka ulah lawan syariat tharikat
Wan hakikat
Bamula gawi katuk dahulu wan basmallah lawangnya
Buka kuncinya wan ma’rifat


Kai dimalui urang sakampungan
Apalagi kalu ada hual pakara pahalatan
Mun ada kai urang baakuran
Suah rumah pambakal handak karabahan kuwini
Batangnya sing ganalan akarnya tabarubut
Puhun kuwini nitu dipindahakan kai kalain


Kai panyayangan bangat wan anak cucu
Amun datang saruan musti mambawaakan barakat
Tapi kami suah kakalahan wan Kai
Ampah kamarian Kai bulik matan salamatan
Kitingkiting wan bungkusan saputangan
Kami manyasah barataan : Minta Kai
Kami rabuti nang di tangan sidin
Kai bakuciak : Jangan naini tahi
Kai pamalar jar kami barataan
Kaputingannya dapat kami jua
Imbah itu kami barabut mangulacak
Tahi jar kami barataan
Han matijaku tahi kada pamaasian


”Sudah ganap ampatpuluhhari Ya Rabbi
Manjahit jubahMu dari kain tahlil
Wan kupasang kimakima shalawat
Kiblatiakan hadapanku nang tazallul
Aku ridha ya Rabbi bulik kahadiratMu”



Mun kami takumpulan taganang aruah Kai
Sidin tahu nangapa nang handak kami pinta
Sampai wayahini kami pingkuti papadah sidin
Bismillah nitu anakkunci pambuka lawang surga

Sajak ini mengungkapkan pikiran yang didasarkan oleh suatu pengamatan dan ingatan di masa lalu. Subjek lirik sajak ini sulit disifatkan, yang dapat dilakukan hanyalah membuat interpretasi tak langsung berdasarkan penggunaan kata-katanya. Sajak ini memasukkan persona ketiga, yakni Kai Adul yang digambarkan hanya dari sudut pandang pembicara, namun pandangannya sendiripun diungkapkan di dalamnya.

Setelah bacaan terakhir, penulis dapat menentukan secara umum, apa yang dibicarakan dalam sajak: pembicara dalam teks, yaitu subjek lirik terkenang kembali tentang sosok yang menjadi panutan dan sangat dikaguminya. Subjek lirik bercerita tentang masa dulu, ketika masih kecil ia bersama saudara dan anak-anak sebayanya begitu menikmati kebersamaan dengan tokoh yang bernama Kai Adul. Mereka memijat tangan dan kaki Kai Adul, mendengarkan nasehat dan petuah beliau mengenai kehidupan. Bayangan dari masa lalu ini muncul dan sampai pada hari itu ia masih tetap mengingat dan mengamalkan apa yang selalu diajarkan oleh Kai Adul.

Dalam sajak ini tidak dikatakan secara eksplisit apakah subjek lirik ini adalah wanita atau laki-laki, sehingga peneliti tidak dapat mengidentifikasi jenis kelamin dari subjek lirik, akan tetapi dalam teks tentu tetap ada petunjuk. Dalam sajak ini, disebut kata kami, akan tetapi tetap saja itu merupakan narasi dari satu orang saja. Pembicara adalah seorang anak yang telah menjadi dewasa kemudian berbicara mengenai masa kecil bersama anak-anak sebayanya dan Kai Adul, yang paling jelas adalah pada bait terakhir

Mun kami takumpulan taganang aruah Kai
Sidin tahu nangapa nang handak kami pinta
Sampai wayahini kami pingkuti papadah sidin
Bismillah nitu anakkunci pambuka lawang surga

Hal lain yang mungkin menjadi petunjuk adalah penggambaran mengenai cara bertutur Kai Adul terhadap subjek lirik pada larik keduabelas /hidup ada aturannya tungai/ kata ’tungai’ lazim digunakan untuk anak-anak, meski tidak mutlak memiliki hubungan kekerabatan, namun kata-kata ini menunjukkan hubungan emosional yang kuat antara keduanya.

Dalam sajak tersebut, perasaan subjek lirik menjadi himpunan perhatian, walaupun kadang-kadang menjadi rumit karena dimasukkan orang ketiga sehingga sajak bisa bersifat dialog. Jika subjek lirik tidak berbicara kepada seorang pendengar maka sajak dapat menjadi semacam pendapat yang bersifat umum, dapat dikatakan sajak ini memasukkan unsur kisahan.

Sajak yang memuat unsur kisahan, dimana subjek lirik bercerita, mengungkapkan pikiran dan pengamatannya tentang persona ketiga, juga terdapat pada sajak lain dalam antologi ini

Mun taganang aruah nini barubuian banyumata
Sidin caramin mata wan wadah baungah
Nini landang umur jar urang sidin babustan
Wayahini banyak anumanum sudah kilum
Mun nini gigi purna sampai katuha
Sambil mangacip pinang malipat sirih
Dangarakan jar sidin
Kami bagarumut di hadapan sidin batalimpuh
Wan rapat sila
Handaklah nyaman mambuka lawang surga
Apikapik mamalihara muntung wan mamalihara rupa
Basuh batistangan wan adat pusaka
Nini maluhaiakan hinak mangucurakan kinangan
Ka paludahan mambujurakan kikisik timbaku jawa


(nini aluh, 2006: 24)

..............

Imbah itu inya kada tahu lagi wan dirinya
Nang tahu teja mambari sajumlah warna
Jalan nang kada tarasa asing dijalani
Hanyar babarapa hari badapat wan Ainun
Rasa saratus tahun bakawanan singrakatan


Kada kawa dikisah lagi bauma tiri
Juhri nang babatis panjang sabalah
Lamun harat bagimpar wan bagipang
Dikampung ngaran tapuji

.....................

(bagandang nyiru, 2007: 1-2)


Perkataan pembicara dalam sajak Kai Adul tidak ditujukan kepada seseorang pendengar khusus. Monolog subjek lirik ditujukan kepada dirinya sendiri. Ia mengenang masa lalu, karena situasi dan kondisinya pada saat itu sangat memungkinkan untuk membuka kembali ingatannya tentang tokoh Kai Adul. Dirinya merenungi betapa petuah-petuah yang dulu selalu Kai Adul berikan amat dipegang oleh subjek lirik (dan anak-anak lain yang kemudian disebutnya dengan ’kami’). Sudut pembicara yang tidak ditujukan pada pendengar khusus, atau hanya berupa monolog pada diri sendiri banyak dimunculkan dalam Antologi ini. Sajak ”Sarai sarapun” berbicara mengenai subjek lirik yang mengingatkan dirinya sendiri untuk selalu mawas diri. Baik batuakal kugamati sakikihduakikih/matahari nang mantapuk kabumbunan/ maulah pananjak bahindang bahindala/ kaina kada sawat baulah jalan/ manyampati ari/ bursiah sanja bagasut bahantak/ ka sangkar bumi.

Dalam banyak sajak, pendengar/ yang diajak bicara tetap implisit. Tidak hanya untuk diri sendiri, terdapat pula sajak yang ditujukan untuk alam dalam sajak Bulik Balanting.

Baturai wan hujan garimis. Aku tajipah
Dalam rajut lunta rakun. Kukikih carucuk
Nang batabul. Ilungilung maumbakgalahani
Sanja sasain bagalusut sasain mamarah janar dimataku
Kada usah lagiah batakun kamana burung-burung
Maurak halar. Kamana hutan bakau mancari

Humbayang sampai ka muhara. Mun angin manampur
Kadundangakan parimataku
Ulak banyu wadah mambuang paluh, langitai
Jangan dipadahakan aku kagubihan mun kada
Mahirani salanjung mimpi nang marasuki
Badanku. Janaki aku mun haratan manjanaki, bumiai

..............

Dengan mengajak bicara sesuatu yang tidak hadir, mati atau tak bernyawa, sesuatu itu dihadirkan, dihidupkan, dimanusiakan. ’langitai’ dan ’bumiai’ menjadi pemantul suara yang walaupun sendirinya diam, namun tanggap terhadap subjek lirik yang justru memerlukan pemantul semacam itu untuk mengungkapkan perasaannya.

...............

Malam Ramadhan ini aku mambuang supan
Mambuang takutan aku musti badatang kahadapanmu
Galitiran kadua tanganku
Galitiran kadua tanganku
Galitiran manadah ka arasymu
Parau bakiau asmamu dalam sisiganku
Padih mataku dalam cahaya matamu
Ya Rabbi jangan engkau pajahakan
Lampu bashirah di tanganmu nyalaakan
Wan ma’rifatullah dalam batinku

......................

(Dzikir Madihin, 2006: 31)

Orang kedua diajak bicara, tetapi tidak menjawab. Harus dipahami dari teks siapa orangnya dan apa hubungannya dengan subjek lirik. Di sini hubungannya Khalik dan makhluk. Jelaslah bahwa tidak ada jawaban dari pihak kedua, dari potongan sajak itu terungkap kerinduannya akan Tuhan yang dia dekati dengan deskripsi yang angkuh, namun penuh harap.

4.2 Tema Puisi

Subjek lirik serta perasaan dan pikirannya merupakan pusat sajak. Tidak ada perjalanan waktu seperti halnya dalam sebuah kisah. Meski begitu, sajak juga berisi sejumlah keterangan konkret mengenai dunia yang digambarkan. Seperti pada sajak WTC, Kuala Lumpur segala sesuatu terjadi pada saat sekarang (ketika berada di Kuala Lumpur) dan sebenarnya peristiwa yang paling penting adalah bahwa subjek lirik, karena pengaruh pengalaman ’kini’ yakni perjalanannya ke WTC, Kuala Lumpur membandingkan pada kondisi negerinya sendiri.

WTC, Kuala Lumpur
Kabiasaan urang tuh mun tabawa parasa
Marasa inya paling bungas paling pintar
Paling panjagawnya paling panyugihnya
Maka di situ musti ada timbul sikap
Sumbung wan takabur
Tanapi imbah malihat manara kambar nangini liwar
Batisku bajajak di tangga pamulaan
Kada marasa aasaan lagi mangalunyur naik


Kada takaji habar lagi imbah malihat
Mun mambanding wan ampun banua saurang
Kadada sabulubatisnya habisai surah
Aku kada kawa bapandir lagi


World Trade Centre dasar pusat pambalanjaan dunia
Nang apik wan tatata bujur-bujur
Barakat katinggian tihnulugi urang
Sambil bakukuliling aku bapandir saurang
Di WTC naya kadada sahamahama cupit atawa maling
Mun di banua baambung bakul haja jangan harap lingah


”mahancap aku turun kawal bakiaw
Kukira nangapa pina musti
Cis inya manyalaakan mancis
Jaharu manukar mancis nang ada gambar light playnya
Urang baaanuan”

Dalam gambaran khayalan subjek lirik, ia juga membangkitkan situasi kontras antara Kuala Lumpur dengan segala fasilitas, kemegahan, dan perlindungan keamanan bagi warga sipilnya dengan kondisi yang jika dibandingkan maka tidak ada apa-apanya (bait kedua dan ketiga). Sajak dibangun berdasarkan perbandingan dua keadaaan. Situasi masa kini, atau situasi di Kuala Lumpur dapat dipandang sebagai penyebab timbulnya gambaran perbandingan. Sejak bait awal hal tersebut sudah digambarkan, kemudian dilukiskan lebih luas dalam bait ketiga.

Konstruksi ini menyebabkan terjadinya kisah perjalanan yang seakan-akan menjadi pokok pembicaraan sajak. Yang mencolok dalam ’kisah perjalanan’ ini adalah pada akhirnya subjek lirik menyadari bahwa kemajuan tekhnologi terkadang juga membawa dampak negatif terutama terhadap budaya masyarakat. Kesan ini tercipta pada kuplet terakhir

........

Mahancap aku turun kawal bakiaw
Kukira nangapa pina musti
Cis inya manyalaakan mancis
Jaharu manukar mancis nang ada gambar lightplaynya
Urang baanuan

(WTC, Kuala Lumpur: 36)

Dalam pembacaan penulis, sajak-sajak Arsyad Indradi hadir sebagai perpaduan antara kemurungan dan pemberontakan. Suasana murung itu menjadi nada dasar yang sendu dari sebagian besar sajak dalam ”Kalalatu”. Sementara pemberontakan dideklarasikan dalam bentuk perlawanan terhadap perwujudan yang banyak menghilangkan, bahkan menindas budaya lokal, terutama oleh budaya modern yang kontroversial dan membuat banyak manusia menjadi marjinal.

.........

Sakilan kadada lagi tanah hagan bakubur
Mambalas kabaikan wayah dipukung
Banyu didih panyulam susu aruah mama
Diganali banyu laang


Tanah mana baganti rupa
Saalaman ragaibacampur cuka
Wayahini siapa aku siapa ikam
Banua tinggalam

(kahilangan banua, 2006: 68)

...........

Yulan ya lalalin
Hutan baratus tahun
Ditabang habis
Batubara dikikis
Hagan kasugihan tuantuan
Kami disipak
Ka padangpadang pangasingan
Tasingkir ka bukitbukit pamburuan


Kabibitak
Anak sima
Halimatak
Bumburaya
O napa bidanya lawan tuantuan

(Dundang rista saribu burung, 2002: 90)

Penyair merasa miris melihat eksploitasi besar-besaran terhadap kekayaan alam secara tidak bertanggung jawab oleh pihak yang tidak bertanggung jawab demi kepentingan pribadi.

...........

Ayuha dahulu
Wayah dipawayah kada balalawasan bataring
Mambulangkir banua
Tatah dipatatah kada balawasan bakuasa
Mun sudah pajah dalam carita
jangan bahiyau sanakkulawarga

(tampulu, 2004: 26)

Tidak selamanya yang miskin akan terus menderita dan yang kaya tak mesti selalu sejahtera. Begitu pula dengan kekuasaan yang menjadi kebanggaan seseorang atau kelompok, tidak selamanya akan bertahan. Dengan keyakinan bahwa roda kehidupan akan terus berputar, maka yang bisa dilakukan hanyalah pasrah. Segala daya upaya untuk menyatakan protes dan kekesalan terhadap keadaan itu hanya akan sia-sia karena hanya dianggap ’daun luruh’, atau sesuatu yang tidak diperdulikan keberadaannya.

Daun luruh

Daun luruh

Di jalanan

Tajajak talincai urang lalulalang

Jaka hingkat bakuriaklawan siapa maminta tulung

Tapi inya daun

Sahibar daun

Daun

4.3 Penggunaan Bahasa Puisi

Bila dibandingkan dengan teks prosa atau drama, pada puisi cara pengungkapanlah yang jauh lebih penting. Kesepian dalam hening malam, rindu pada Tuhan, bunga yang cantik, semuanya itu pada sendirinya adalah pernyataan yang usang dan klise. Meskipun demikian, para penyair selalu berusaha menyajikan pernyataan yang usang itu dengan cara selalu baru, isi dan ungkapan terjalin erat.

Penggunaan bahasa ditandai oleh adanya kiasan dan berbagai gaya. Memang dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dalam puisi, kiasan dan bentuk gaya terdapat jumlah yang lebih besar daripada dalam penggunaan bahasa yang lain. Namun demikian, tidak mutlak itu harus merupakan bagian dari bahasa; ada penyair yang berusaha menjauhkan cara pengungkapan bahasa yang rumit. Hal ini pula yang tergambar dari puisi dalam antologi ”Kalalatu” karya Arsyad Indradi.

Pada tataran bahasa puisi, Arsyad Indradi menjadikan puisinya begitu melodius, punya kekuatan ekspresif pada sajak, karena pengaruh pengulangan bunyi.

Mambangkit Batang Tarandam

Tarandam batang tarandam
Timbul tinggalam diarus banyu
Hilang jua di mata
Hilang jua di hati
Ingat kada jua diingat


Tarandam lawas tarandam
Tarandam lawas diarus banyu
Bangkitakanlah jua batang tarandam lawas
Pusaka paninggalan urang bahari


Mambangkit batang tarandam lawas tarandam
Pusaka bahari nang lawar pang tarandam
Tabangkit jua batang tarandam tabangkit
Barakat kira gawi sabumi

Sajak ini menggunakan sederetan kata yang berawal dengan t, Tarandam batang tarandam/ timbul tinggalam”. Banyak t dalam sajak ini memberi kesan berat yang menunjang makna kedua larik terakhir. Tabangkit jua batang tarandam tabangkit/ barakat kita gawi sabumi. Bukan tidak sengaja penyair memilih ”Mambangkit Batang Tarandam” sebagai judul. Kata ’batang tarandam’ muncul berulang sebanyak sembilan kali pada keseluruhan sajak ini. Kenyataan bahwa ”Batang Tarandam” ini memiliki makna simbolik serta sifat-sifat yang dihubungkan kepadanya. ’batang’ ini dimanfaatkan untuk mendukung kesan berat. Diperlukan usaha keras untuk bisa membangkit dan mengangkat ’batang’ yang disatukan dengan kata ’tarandam’ membuat eksplisit makna yang ingin disampaikan.

Dalam bahasa puisi selalu terjadi interaksi terus-menerus antara keterikatan dan kebebasan, antara ketentuan dan pembaharuan, antara tata bahasa dan praktik bahasa.

Akan kita lihat bahwa seorang penyair bisa saja membebaskan ikatan antara kata dan apa yang hendak ditandai oleh kata tersebut. Hal ini dilakukan untuk menerobos makna yang lama dan menciptakan makna yang baru. Cara yang ditempuh adalah melalui penggunaan metafor. Metafor tercipta karena sebuah kata yang secara konvensional tak dapat dihubungkan dengan perkataan lainnya, justru dihubungkan untuk melakukan penyimpangan yang disengaja. Sebagai contoh, kata ’pandir’ secara konvensional merupakan atribut untuk menunjukkan yang kita dengar berupa ucapan. Akan tetapi, Arsyad Indradi dalam sebuah sajaknya dengan kreatif menunjukkan bahwa kata ’pandir’ menjadi atribut yang tidak hanya dari apa yang bisa didengar tetapi juga apa yang kita makan/ masukkan.

Miang

Miang kajijingahan

Miang tahayut kulipak paring

Miang tapalit jalatang

Miang takana hulat bulu

Masih kada sabarapa

Tapi mun miang

Tamakan pandir

Bakiruh tipang sabukuan awak

Penyair, berbeda dengan pemakai bahasa lainnya, menghadapi bahasa dan kata-kata tidak pertama-tama sebagai alat yang siap pakai, tetapi sebagai bahan atau material yang masih harus dikerjakan dan diolah.

Penyair membicarakan kegelisahan. Tema yang abstrak ini dikonkretkan dengan kata ’miang’. ’Miang’ yang secara harfiah berarti gatal, digunakan berulang-ulang. Citra yang digunakan untuk ’miang’ ini sangat cocok dalam sajak tersebut, terutama sehubungan dengan tema yang begitu penting bagi sajak, yaitu kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan. Dampak pencitraan terutama diperoleh karena perincian keempat pembanding yang memiliki makna serupa (makna sebenarnya, seperti kajijingahan, tahayut kulipak paring, tapalit jalatang, takana hulat bulu). Dengan demikian warna motif yang negatif ditekankan. Akan tetapi, larik berikutnya berbunyi

Masih kada sabarapa

Tapi mun miang

Tamakan pandir

Bakiruh tipang sabukuan awak

Larik tersebut memasukkan kata ’tetapi’ membangkitkan suatu penekanan lebih pada larik berikutnya, mun miang/ tamakan pandir/ bakiruh tipang sabukuan awak. Kata ’miang’ disandingkan dengan kata ’tamakan pandir’ (termakan omongan) dua acuan yang sama sekali tidak ada hubungannya secara logis. Akan tetapi kata ’miang’ (gatal) tepat untuk menggambarkan kondisi yang tidak mengenakkan yang jika seseorang mengalami maka akan menyebabkan gelisah dan tidak bisa tidur.

Terlihat di sini bagaimana metafor dipergunakan untuk memainkan pengertian pandir. ’Pandir’ yang berarti kata-kata atau lebih tepatnya omongan, disandingkan dengan kata ’termakan’. Tentu saja ini tidak bisa dimaknai secara harfiah, karena kata-kata bukan sesuatu yang bisa dimakan. Namun, berdasarkan konteksnya, ’tamakan pandir’ atau termakan omongan dapat diterjemahkan. ’Tamakan’ (termakan) menjadi kata singkat yang bisa mengungkap penjelasan panjang. Pemilihan kata ’tamakan’ terkait dengan pengertian bahwa makan memerlukan suatu proses. Menggigit, mengunyah, lalu menelan. Sedangkan kata ’tamakan’ menyatakan perbuatan yang tidak diinginkan, mengandung unsur ketidaksengajaan, tidak melalui proses, atau secara langsung dilakukan. Bahwa omongan atau kata-kata tidak hanya sekedar informasi yang lewat, didengarkan kemudian ditelan. Informasi itu harus diklarifikasi kebenarannya agar tidak hanya menjadi sekedar desas-desus ataupun gosip yang meresahkan.

Struktur kalimat juga mendukung oposisi makna keseluruhan sajak. Mula-mula kita baca pada larik pertama hingga larik keempat ’miang’ menjadi pembuka kalimat. Tekanan pada kata ’miang’ penyair mencoba menunjukkan tekanan perasaan gelisah dengan mengubah penempatan kata ’miang’ di akhir kalimat. Kemudian diakhiri dengan ”bakiruh tipang sabukuan awak” . ”Tamakan pandir” (termakan omongan) yang menyebabkan desas desus tanpa klarifikasi kebenaran dikatakan jauh lebih tidak mengenakkan.

Kebebasan penyair atau licentia poetica adalah semacam lisensi khusus yang memberikan hak kepada para penyair untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam bahasa untuk memperbarui bahasa. Penyimpangan tersebut dapat dilakukan dalam bunyi bahasa untuk menciptakan efek fonetik bagi irama atau rima yang dikehendaki. Penyimpangan dapat pula dilakukan dalam makna bahasa, khususnya melalui teknik metafor, dimana dua kata dengan makna yang tidak bisa dipertautkan, digabungkan untuk menelurkan makna baru. Usaha pemaknaan baru ini dapat dilakukan juga dengan mengubah status sebuah kata sebagai kata benda menjadi kata kerja, atau kata sifat, dan sebaliknya. Selain itu, penyimpangan dapat dilakukan dengan mengubah bentuk kata, dengan menerapkan cara penulisan yang tidak sesuai dengan ejaan yang baku.

Penyimpangan bentuk kata berupa pemberontakan terhadap ejaan ini juga dilakukan dengan konsisten oleh Arsyad Indradi. Sekalipun secara semantik dan secara fonetik dia tetap konvensional, dalam arti tidak memasukkan bunyi-bunyi atau kata-kata yang tidak dikenal ke dalam sajak-sajaknya.

Ada beberapa penyimpangan yang dilakukannya. Diantaranya adalah menuliskan kata ulang tanpa tanda sambung. Dalam sajak ”Di Pancung Lanting” peneliti menemukan bentuk-bentuk seperti: sahamahama, saricihricih, kilirkiliran, taruhuiruhui, ilungilung, dan baapikapik. Penyair juga menggabungkan dua kata yang seharusnya ditulis terpisah. Dalam sajak ”Zikir Balarut” dapat ditemui bentuk-bentuk seperti: likatbaburih, manapungtawari, baraskuning, tanahbanyu, duitpacah, dan bauntungbatuah. Dalam sajak ”Sarai Sarapun” peneliti menemukan bentuk seperti: sakikihduakikih, dan ampatpuluhsatu, yang semestinya ditulis: sakikih dua kikih, dan ampat puluh satu.

Penyimpangan ejaan yang demikian, tentulah bukan ketidaksengajaan, atau kebetulan. Patut diingat bahwa huruf dan kata-kata tertulis adalah tanda untuk bunyi bahasa. Seorang penyair dapat memilih untuk melakukan manipulasi komponen tersebut.

4.4 Bentuk Puisi

Dalam sajak ”Membangkit Batang Tarandam” sajak terbagi menjadi menjadi tiga bait. Dapat dilihat bahwa pembagian ini ada kaitannya dengan kisah dan usaha untuk melestarikan Budaya Banjar atau yang diumpamakan sebagai ”Mambangkit batang tarandam”. Prosesnya digambarkan sejak bait pertama hingga yang terakhir. Bait pertama memaparkan bahwa Budaya Banjar telah hampir dilupakan. Bait kedua, timbul semangat untuk menghimbau masyarakat untuk mempertahankan kekayaan peninggalan orang tua terdahulu. Bait terakhir, patut dirayakan karena berkat kerjasama seluruh elemen masyarakat budaya ini tentu bisa dibangkitkan kembali.

Bentuk sajak dalam antologi ini tidak terlalu menonjol. Akan tetapi dapat dikatakan penyair memastikan bahwa jumlah bait atau bentuk paragraf dalam sajak-sajaknya mendukung isi atau makna keseluruhan sajak. Seperti dalam sajak berikut ini

Marasa Maka Tahu

Maajini kahandak hati ari kalayang ari
Duduk di tangah watun cagat mata cagat
Mun bamban katia bamban diricihricih
Burit makalaham lingsak balingsar kada sakira
Bahujung lingsak marasa maka tahu
Pumput jalan pahinakan maulak banyu
Baduduk salah badiri gin salah
Bulan pajah bintang gin pajah
Wan siapa tatakunan nang tunduktingadah

Marasa maka tahu maarit bisul nang marantan
Balalawasan mahadang pacah
Nyamanai bapandir mun muntung kada bakuring
Nyur kahulu nyur kahilir nyamanai naik mutur
Turun mutur duduk di kursi unggalunggal
Batang tindih batindih kada tahu siapa ampun bilungka
Siapa nang linyaknya
Himung bahindangbahindala kada tahu sindum banua
Kuranyaman samut mancari juruh napang tukil karing
Laang gin saraba karing
Kada ah mun mandangar kulipakkulipak babun di hulu
Ngiukngiuk piul di hilir
Asa ganting paparutan napangai panurihan sunyi
Gatah tiis kada bagatah paluh nang diparah
Napang marasa maka tahu
Batis kulipak tungkulan baambah di padanga banta
Marajah pahumaan lawas pang taung
Lawas marajah pagat janji basambung pagat pulang
Marajah di hati napang
Manunjul jukung, jukung tapahalang
Manajak kupiah, kupiah tapahalang
Marasa maka tahu
Kikicaktu wadai gayam mata picak dipatuk hayam

Ari kalayang ari
Cagat mata tunduktingadah
Balangsar mahalimpaur

Sakalinya tahadangi buah bungur

Sajak ”Marasa Maka Tahu” hanya terdiri dari dua bait. Bait pertama sebanyak 32 larik yang secara visual lebih panjang jika dibandingkan dengan bait kedua yang hanya 4 baris. Pembagian bait ini juga ada kaitannya untuk mendukung makna atau apa yang diceritakan dalam sajak. Bait yang panjang bercerita tentang penantian panjang seseorang akan perubahan nasibnya yang boleh dikatakan tidak beruntung. Bahkan harapannya agar orang yang kondisinya lebih baik tidak menutup mata akan keadaan itupun sia-sia. Penantian panjangnya itu diakhiri singkat oleh bait kedua puisi terutama larik terakhir sakalinya tahadangi buah bungur merupakan ungkapan yang berarti sesuatu yang percuma saja ditunggu.

Bab V Penutup

Noor Hana mahasiswa FKIP Jur Bhs Indonesia dan Sastra Unlam Banjarmasin, 2008

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1) Sajak dalam antologi “kalalatu” kebanyakan merupakan monolog kepada diri sendiri, selain itu juga banyak memasukkan unsur kisahan.

2) Tema-tema dalam sajak menggambarkan keprihatinan akan punahnya adat budaya lokal yang tergusur oleh modernisasi. Selain itu, mengemukakan masalah sosial politik seperti kepincangan dalam masyarakat ataupun gambaran perbedaan menyolok antara golongan kaya dan miskin.

3) Puisi juga bergaya mantra, mempergunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa: ulangan kata, frase,atau kalimat berupa paralelisme, kombinasi dengan metaphor, hiperbola dan perumpamaan epos, untuk mendapatkan efek sebanyak-banyaknya. Juga dipergunakan kata-kata yang menyimpangi ejaan yang lazim berupa kata ulang tanpa tanda hubung, menggabungkan dua kata yang mestinya ditulis terpisah.

4) Bentuk puisi tidak simetris, namun pembagian bait puisi cukup diperhitungkan untuk mendukung makna puisi.

5.2 Saran

1) Untuk melahirkan puisi yang berhasil, patut diingat bahwa puisi selalu tersimpan dalam rahasia tanda-tanda dan bukan bentuk yang hampir-hampir deskriftif. Untuk itu, maka perlu usaha lebih untuk mengolah dan menyaring kata-kata menjadi diksi yang orisinal dan optimal.

2) Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik puisi karya Arsyad Indradi, agar dapat dilihat secara menyeluruh karakteristik puisi karya Arsyad Indradi baik dalam antologi “Kalalatu” maupun dalam antologi yang lain.

Selasa, 02 September 2008

One of the Song Lonely



" I don’t know where now Kristina "

On the culmination sea waves I’m asceticism my soul
In the foam upset to wipe out my inner voice
A’ll to make sink whole my sorrow
in to my love

Oh, I’m sorry indeed
I hope it’s my way of the best in my live
Here’s wash up my self unhappy

Now, nothing more desire
good bye whole miserable

Bbaru, 3 Sep 2008



MENJAMURNYA PARPOL DI ERA REFORMASI ( ? )

Setelah pasca reformasi (?), menjamurlah partai – partai politik di bumi Indonesia ini. Partai itu partai ini. Kalau dilihat pendiri dari partai – partai politik ini kebanyakan orang – orang vokal yang ekstrim terhadap rezim pemerintahan Presiden Suharto dan “ pemain - pemain lama “ yang hengkang dari partai – partai politik pada zaman orde baru, partai yang gagal mengemban amanat rakyat Indonesia. Kalau melihat banyaknya partai – partai ini, teringat pada zaman orde lama yang berhamburan partai – partai, bahkan ada partai perorangan. Partai perorangan ini mirip dengan menamakan dirinya wakil rakyat dari independen ( partai semu ? ) jaman sekarang.

Apakah banyaknya jumlah partai menjamin akan membawa dan melunaskan amanat rakyat Indonesia ? Allahualambissawab. Yang jelas banyaknya jumlah partai, praktis peluang bagi orang - orang yang ambisi masuk ke legislatif atau suatu jabatan tertentu di ekskutif.

Rakyat adalah rakyat dan tetap saja rakyat. Rakyat adalah sasaran ajang perlombaan bagi partai – partai pada pesta pemilu legislatif dengan segala propagandanya yang manis, muluk, iming-iming dan sebagainya agar rakyat terpikat lalu memberikan suaranya. Rakyat yang masih belum pintar tentu akan menjadi sasaran yang empuk bagi partai pembual.

Selanjautnya kita perlu mewas diri bahwa : pembual adalah sumbernya dusta. Dan berpikirlah hari ini dan berbicaralah besok “ *** Arsyad Indradi ***

Senin, 01 September 2008

KATAKAN : TAK !!!

Ternyata kita selalu dihadapkan pada sebuah pilihan. Pada hal, bak memakan buah simala kama. Dari satu sisi kita adalah warga yang punya hak dan berkewajiban dan berusaha menjadi warga negara yang baik. Namun pada sisi lain kita berbenturan pada hati nurani, yakni pilihan yang akan kita pilih itu ternyata lain dari kehendak. Ini menjadikan problema yang sulit bagi warga negara yang bernama rakyat dalam ajang pemilu.

Dan kita sungguh menyadari bahwa kenyataannya kita sulit mencari khalipah bangsa ini. Pemimpin yang benar-benar berkualitas dan profisional, pemimpin yang bersih jiwanya, pariotisme yang tinggi, pemimpin yang mampu memperjuangkan nasib takyatnya, menjadikan negara ini sebuah negara yang berkeadilan, sentosa, makmur dan sejahtera.

Negara ini usia kemerdekaannya sudah 63 tahun. Usia yang cukup panjang. Tapi apakah dalam usia ini telah terlunasi amanat dan kehendak seluruh rakyat ? Dan ini perlu direnungkan !

Sesungguhnya, kita perlu belajar pada negara – negara yang telah maju. Jepang misalnya. Bayangkan, Jepang pada tahun 1945 mengalami kelumpuhan total. Nagasaki dan Hirosima yang luluh lantak oleh bom atom. Tapi bangsa Jepang tak berputus asa. Ia bangkit dari keterpurukan dengan meningkatkan “pendidikan “ dengan jiwa patriotisme yang tinggi. Jepang berupaya terus mencetak kader – kader tenaga ahli yang profisional untuk semua bidang. Alhasil, Jepang telah menjadi sebuah negara maju. Salah satu hasil teknologi dan industrinya membanjiri negara-negara lain. Di bidang “pendidikan” dulunya Malaysia belajar pada Indonesia, dan sekarang Malaysia sudah jauh melampaui gurunya.

Seyogyanyalah kita semua menyadari setelah melihat kenyataan ini.Tentu saja Indonesia harus merobah sikap. Indonesia harus mengedepankan visi dan misi dunia pendidikan ! Bukan dunia politik ! Bukan untuk sekadar mencari kepuasan kedudukan dan jabatan !

Timbul pertanyaan. Mengapa suburnya bertumbuhan partai di bumi ini yang ujung-ujung nya sibuk berlomba memperebutkan suara – suara rakyat ? Mengapa tidak bertumbuhan sekolah dan perguruan tinggi yang lengkap dengan sarana dan prasananya dan tenaga pengajar yang tangguh dan profisional ? Dan segala biaya sekolah maupun kuliah dengan relatip murah ? Sehingga bertubuhanlah kader –kader patriot pembangun bangsa dan negara !

Kembali kepokok masalah. Apakah rakyat harus selalu makan buah simalakama ? Jika rakyat itu sudah tidak bodoh lagi, maka ia akan mengatakan : TAK !!! *** Arsyad Indradi ***