Lumpur Lapindo

Selasa, 08 Juli 2008

Antologi Puisi Penyair Nusantara :


Dari Negeri Bandung Menuju Bulan

Oleh : Bambang Widiatmoko

Perdebatan tentang mazhab romantisme mungkin tak akan pernah berakhir. Terutama relevansi romantisme yang berkembang di kesusastraan Eropa di abad ke-19 dalam kesusastraan Indonesia. Namun banyak yang sepakat mazhab romantisme di Eropamengacu pada suatu gerakan seni-sastra yang bisa ditelusuri sejak akhir abad ke-18 di Eropa Barat, khususnya Jerman dan kemudian Inggris, yang menjadi aliran menonjol di pertengahan abad ke-19 ke seantero Eropa dan belahan dunia lainnya.

Sapardi Djoko Damono dan Saini K.M. menguraikan munculnya romantisme Eropa sebagai suatu reaksi terhadap suatu aliran yang disebut sebagai Klasisisme, yang menitik beratkan pada keseimbangan, aturan dan konvensi dalam seni, mengedepankan intelektualitas dan rasio, objektivitas serta orientasi budaya yang mengacu pada tatanan sosial politik yang didominasi oleh kaum elit bangsawan dan agamawan.

Sementara di Amerika, munculnya romantisme menurut Melani Budiana, bertolak dari kejenuhan terhadap dominasi dogma aliran Kristen Puritan Kalvas, dan cara berpikir pencerahan yang rasional, dan cenderung steril dan emosi. Kembali melihat masa lampau, yang jauh dari hingar bingar peradaban masa kini merupakan salah satu ciri romantisme, seperti yang dipelopori oleh Sir Walter Scott dengan genre sastra sejarahnya. Kecenderungan yang sama juga mengarah pada eksotisme, suatu orientasi kepada yang asing, dan yang jauh, yang digambarkan sebagai dunia yang mempesona dan eksotik.

Seni romantik menggali inspirasi dari seni yang tumbuh dari kehidupan rakyat kecil sehari-hari seperti balada, folklor, dongeng, dan legenda. Dengan aspel-aspek yang diutamakan oleh gerakan romantisme, William Shakespeare, dramawan yang hidup tiga abad sebelumnya (1564-1616) menjadi populer kembali di masa romantik.

Bagaimana dengan romantisme dalam naskah-naskah lama di Nusantara ? Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814 sampai 1823 dan diprakarsai oleh Adipati Anom Amangkurat III, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sunan Paku Buwana V (1820-1923), mengungkapkan juga erotik romantisme. Serat Centhini merupakan ensiklopedi budaya Jawa yang sangat berharga karena membicarakan banyak perkara dan peristiwa yang mengandung keagungan. Kandungan isinya sangat beragam, meliputi sejara, pendidikan, geografi, arsitektur, pengetahuan alam, falsafah, agama, tasawuf, mistik, ramalan dan sebagainya.Kita juga bisa menemukan masalah sanggama dan romantisme yang terkandung dam Serat Centhini,

Suasana romantik dapat saya temukan kembali ketika membaca Antologi Puisi Penyair Nusantara : 142 Penyair Menuju Bulan, diterbitkan Kelompok Studi Sastra Banjarbaru Kalimantan Selatan, tahun 2007.

Dalam antologi ini, banyak puisi-puisi yang mengungkapkan erotik romantisme. Kita lihat dalam puisi Aen Trisna Wati berjudul Mimpi Basah : //mengendapkan kerinduan/pada dinding kamar, pada detak hujan, pada dingin/yang menyeka malam menjadi malam/suara batuk tertancap di gemuruh/menjadi sunyi/menyimpan kerinduan/pada sebotol air putih/kemudian kuteguk/menjadi bayang-bayang/menjelma lingkar matamu/hingga masuk ke kantung kemihku/malam kian sunyi/kutitipkan puisi rindu/di atas bantal biru/lalu mengecup bayangmudan bergumam pelan/’selamat malam’/dan lelap resah hingga basah/ (hal.12).

Juga puisi Ahmad Syam’ani berjudul Syair Perempuan ://Lihat, salam hangat perempuan/Lentik matanya/Ketika sedikit kata-kata menari/Sampai jejak pintu pentas pun memanggil/Namanya, dengan tekun// (hal.33).

Atau puisi Ali Wardana berjudul Ronggeng://Menimbang lenggok senyum selendangmu/kembangkan lanskap dukuh kumuh/ di tingakah dayu kembang/disela suit serta tepuk tangan/di buai ketipak kendang (hal.63). Begitu pula dengan puisi Aminuddin Rifai berjudul Makrifat Sungai://amboi/aku kembali memastikan/bahwa syahwatku telah basah/oleh mengintipmu/di sungai// (hal.70). Bisa diperpanjang lagi dengan puisi Aslan Abidin berjudul Polispermigate ://tapi nawang wulang, aku juga suka/membayangkan kau membuka celana/untukku dan mungkin aku terkesiap/menatap kemaluanmu yang mangap//(hal.102).

Masih banyak puisi yang berkisah tentang romantisme ditulis dengan baik oleh penyairnya. Begitu pula beberapa penyair berhasil menuliskan puisi tentang perempuan dengan cukup memikat. Ada satu puisi berhasil mengungkapkan tentang dunia waria ditulis Boufath Shahab berjudul Kau Tahu Sihir Waria : //jika sekali saja kau kerlingkanmata/akan kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa/pernahkah kau berpikir tentang ruh perempuan yang terjebak/di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat pengatur jasad ?/maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku/aku akan telanjang bersama kupu-kupu/atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang/telanjang bersamamu/mungkin akan kau temukan bekas-bekas air matabahagia ibu/ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku/dan ia menghadiahiku sebutir bola yang penuh warna/kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia/aku merindukan sebuah boneka// (hal.121).

Buku setebal 728 halaman hasil kerja keras Arsyad Indradi selaku editor menunjukkan betapa beragamnya tema-tema yang ditulis penyairnya. Tentu tidak semua penyair yang terlibat di dalamnya, berhasil menampilkan puisinya dengan baik. Beberapa puisi terkesan masih dangkal. Bahkan saya menemukan puisi yang ditulis dengan gaya penulisan puisi mbeling seperti yang pernah dipopulerkan Remy Silado.

Seperti puisi yang ditulis Ahmad S.Rumi berjudul Negeri Bandung ://Di negeri Bandung/Puisi cukup mahal/Jalannya beraspal/Jalurnya ditunggu preman/Redakturnya amat terkenal//(hal.29).Kutipan bait pertama dalam puisi tersebut menunjukkan bahwa penyairnya hanya mencoba bermain-main dengan kata-kata, belum mencoba mengolah secara lebih mendalam tentang Negeri Bandung. Lantas apa manfaatnya bagi bublik sastra jika disajikan puisi-puisi semacam itu ?

Begitu pula bila membaca puisi-puisi yang bertabur huruf kapital, apakah lantas dengan demikian mengubah puisi tersebut menjadi puisi relegius ? Misalnya dalam puisi yang ditulis Kiki Turki berjudul Surat Untuk Kekasih I :// Di malam sunyi ku terbangkan daun-daun doa/sampaikan pesanku pada-Mu?/Kekasih, aku alpa pada-Mu/Tapi tidakjkah Kau ampuni aku//(hal.342). Juga pada : //Kekasih …./Hari ini aku menelpon-Mu kembali/Jawablah walau sekedar veronica! (hal.343).

Tentunya jika yang dimaksud ingin menulis puisi religius, tidak sesederhana atau sekedar menempelkan huruf kapital. Setiap manusia memiliki naluri religiusitas, yaitu naluri untuk berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup dan alam raya yang menjadi lingkungan hidup sendiri. Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Konsep religiusitas adalah rumusan brilian, yang mencoba melihat keberagamaan seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tetapi mencoba memperhatikan segala dimensi.

Keberhasilan menuliskan segala dimensi swebagai suatu konsep religiusitas tampak dalam puisi Ali Syamsuddin Arsi berjudul Bermain Bersama Anak-Aanak ://Tuhan, jarak sepereti apa lagi yang akan engkau paparkan/dariliku-likunya kasih sayang, sementara cinta/haruslah tetap dipertahankan/waktu sampai ke batas kematian/karena keabadian itu merupakan sumber bayangmu/dari zaman ke zaman, dari ruang ke ruang//(hal.55).Tanpa harus bertabur huruf-huruf kapital pun sudah sangat jelas penyairnya berhasil menuliskan sajak religiusnya.

Begitu pula jika membaca puisi yang ditulis Arsyad Indradi berjudul Darah, penyairnya berhasil menyajikan makna religiusitas dalam puisinya ://Adalah langit darah berdarah/Tak habishabis jadi laut berabad-abad telah/tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu/tak singgahsinggah pada dermaga darahku/Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu/kutubku tenggelam dalam kutubmu/menghempas napas darahku membatubara/ di kunci rahasia Alifmu Alif Alif/darah Adamku yang terdampar di bumi/yang rapuh berabad-abad mencari darah Hawaku/yang rapuh tersesat di belantaramu meraung/darah laparku mencakarcakar mencari darahku/beri aku barang setetes Hu Allah/getar alir napas menyeru darahmu/mengalir darahmataku mengalir dari musafir/di sajadahmu/mengalir menuju rumahmu (hal.88).

-oOo-

Beberapa kelemahan terkesan agak mengganggu dan bisa untuk koreksi dalam penerbitan antologi puisi selanjutnya. Seperti pemuatan puisi yang sama pada halaman 33 dan 35. Pemuatan foto pada halaman 698,699,700,7001,7002 terasa sangat mengganggu, apalagi tanpa ada penjelasan sama sekali dari editor dalam kata pengantarnya. Ada ungkapan yang menyebutkan satu foto mewakili seribu kata-kata. Puisi di halaman tersebut menjadi berkurang maknanya setelah kita melihat foto yang menyertainya. Maaf, tanpa ada penjelasan lebih rinci, judul yang tepat untuk buku ini adalah antologi puisi dan foto.

Sebagai penutup tulisan ini, kita kutip saja penggalan puisi dalam antologi 142 Penyair Menuju Bulan, barangkali bisa merefleksikan isi keseluruhan antologi puisi ini seperti ditulis Ahmadun Yose Herfanda://Ah,apapun yang terjadi padamu/Indonesia, aku tetap mencintaimu (hyal.39).Atau boleh juga puisi Dimas Arika Mihardja ://’kulihat ibu pertiwi/sedang berduka hati…’/Indonesia bau, begitu kita berseru/Indonesia baru, berseteru melulu//(hal.158).

Apa pun wujud dan isi dari antologi puisi : 142 Penyair Menuju Bulan, tetap dapat menjadi rujukan untuk mengkaji perkembangan sastra di Indonesia. Semoga.

Bambang Widiatmoko,penyair,dosen FTSP Universitas

Mercu Buana,Jakarta

Senin, 07 Juli 2008

Narasi " Penyair Gila " Arsyad Indradi

Oleh : Dr. Sudaryono M.Pd

Staf Pengajar FKIP Universitas Jambi

Kalau ada kegilaan adalah kegilaan kreatif. Dengan kreativitas, kegilaan penciptaan dimungkinkan. Dengan kegilaan pula dapat dikecap capaian-capaian artistic sebuah sajak. Penyair terkadang seperti orang “gila” (gila dalam tanda kutip). Artinya ,di tengah-tengah masyarakatnya penyair acap tampil anomaly, menyendiri, mengasingkan diri dari interaksi massif, dan secara personal menampilkan sosok yang sering “nyleneh”, aneh, dan sulit dipahami. Hal seperti itu tidak ditemukan pada puisi-puisi penyair dari Banjarbaru : Arsyad Indradi yang menyedot perhatian untuk digumuli.

Kegilaan Arsyad Indradi dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi segenap inderanya dalam menciptakan puisi masih dapat dinikmati. Niscaya merupakan sebuah kegilaan manakala dalam satu tahun diterbitkan buku kumpulan puisi : Nyanytian Seribu Burung (April 2006), Narasi Musafir Gila (Mei 2006), Romansa Setangkai Bunga (Juni 2006), dan Kalalatu (September 2006) yang semuanya diterbitkan secara swadana oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru yang dipimpinnya. Gila ! Mungkin begitu komentar orang. Kali ini perhatian secara khusus mengarah pada Narasi Musafir Gila yang memuat 90 puisi yang ditulis tahun 2000-an.

Dari mana pembicaraan ini dimulai ? Pembicaraan puisi bisa dimulai dari mana saja. Antologi ini dibuka dengan “ Narasi Ayat Batu”. Sebagai pembaca kita lantas ingat adanya prasasti, tugu, daun lontar dan sebagainya yang menyimpan kearifan. Kubelah ayatayat batumu di kulminasi bukit/ Yang terhampar di sajadahku / Kujatuhkan di tebingtebing lautmu / Cuma gemuruh ombak dalam takbirku// ...Kuseru namamu tak hentihenti / Di ruasruas jari tanganku/ Yang gemetar dan berdarah/ Tumpahlah semesta langit / Di mata anak Adam yang sujud di kakimu (Banjarbaru,2000). Puisi ini secara intens mengungkapkan pergulatan penyair dalam menghayati “misteri” illahi.

Arsyad Indradi yang memasuki usia 54 tahun pada Desember 2008 ini seterusnya menulis “Narasi Pohon Senja” seperti ini : Kukalungkan lampulampu di ranjangmu/ Lalu kujadikan pengantin/ Lalu kunikahi daunmu kepompong birahi dendam/ Lahirlah kupukupu/ Betapa nikmat dalam dahaga / Menjelajahi tubuhmu/ Mencari rangkaian bunga/ jauh dalam lubuk jantungmu (Hal.2). Sajak ini lebih mengedepankan kontemplasi dengan ilahi ditampilkan melalui penginsanan-hubungan manusiawi dengan idiom symbol hubungan pengantin di ranjang. Dalam “Narasi Gairah Embun” secara manis penyair menulis seperti ini “Mulutmu wangi sarigading/ Menyentuh gordengorden jendela/ Tapi jangan kau buka/ Sebentar lagi pagi beranjak tiba (hal.3). Secara analogis, metaforis, dan liris dalam “Narasi Tanah Kelahiran” dinyatakan “Kau beri aku sampan/ Riakriak menyusuri uraturat nadi/ Wajahmu sudah lain tapi begitu angkuh/ Tumbuh rumahrumahbatu” (hal.4). Pergulatan dan pergumulan penyair sampai pada kenyataan bahwa “Aku/Anak Adam/ Yang tersesat di sajadahMu (“Zikir Senja”, hal.8).

Memasuki usia senja, penyair semakin intens mengolah rahasia pertemuan dengan sang Khalik. Intensitas itu membuahkan puisi-puisi relegius yang lembut dan kongkret. Lebih kongkret lagi ketika penyair lantas mengkaji bumi yang dipaijak. Bumi yang memberikan kesadaran bahwa persoalan manusia tidaklah semata berkomunikasi dengan Sang Khalik, melainkan juga perlu membaca denyut kehidupan di bumi. Puisi-puisi yang mewakili tema kehidupan di bumi yang ia pijak antara lain “Ekstase Seorang Pejalan Jauh”,”Etam Sayang Gunung” , “Romansa Bulan Saga””, Romansa Seekor Hong”, “Romansa Setangkai Bunga”, “Romansa Di Bawah Hujan Cinta Pun Abadi “, “Pertemuan”, “Jalan Begitu Lengang”.

Hal yang unik dan menarik, penyair Arsyad Indradi mencoba menawarkan cara ungkap multikultur dengan memanfaatkan campur code bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam beberapa puisinya seperti : “As One of the Song, Mamimeca”, “ Elly : Sonata is Silent”, dan “In My Last Mirrage”. Kita cermati bagaimana penyair memakai campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam puisinya. Dalam “As One of the Song, Mamimeca” ditulis begini “ ... Aku tahu betapa letih wajahmu/ Dalam gugusan maha kelam / May soul stay in the wind, Mami” (hal 27). “Aku musafir/ Liriklirik yang jatuh dari matamu/ Jatuh gemersik : Give to me one the world/ Di kulminasi bukit/ Kupetik kembang ilalang :/ may sure not at all raincloud / Elly di tebingtebing :/I have lost my wind (Elly : Sonata is Silent, hal 29). Pemanfaatan campur kode dalam puisi ibarat membuat gado-gado, bahan-bahan yang berlainan dipadu jadi satu, dan ternyata enak juga.

Mengahiri pembicaraan ini , kita tampilkan puisi yang dijadikan judul buku kumpulan puisi. Judul puisi yang dijadikan judul buku , biasanya dijagokan sebagai gambaran pencapaian estetis dan gambaran sikap penyairnya. Bagaimanakah capaian estetis dan gambaran sikap penyair Arsyad Indradi ? Kita simak sajak “ Narasi Musafir Gila “ selengkapnya :

Mendadak cahaya itu dalam belitan kabut

Porakporandalah cakrawala dan aku kembali harus

bergumul dengan persimpangan jalan

Tapi aku tak sudi mengatakan : Ajalkan aku di sini

Kudakuda alas berloncatan pada goncangan bumi

Pada angin yang menepuk dada

Kugilakan musafirku ke padang luas

Padang abadabad persembunyianmu

Sebab aku telah mengatakan :

Kuabukan s’luruh mimpimimpi purbaku

Dan kutapakan dalam tubuh tembokmu

Agar tak kan kau usik lagi s’luruh jejakmu

Puisi yang ditulis di Bandung pada 2006 seakan menandai pengembaraan spiritual penyair. Arsyad Indradi tampaknya sampai “Pada Suatu Halte”, tempat istirah sejenak, tujuan perjalanan, dan tempat bertolak melakukan petualangan yang lebih gila. Estetika yang ditawarkan penyair, pola ucap puisi-puisinya, dan tematis puisi-puisinya tampak akan serupa air yang mengalir menuju muara makna. Demikianlah pembicaraan sederhana, semoga silaturrahmi batiniah terjembatanni. Salam budaya.

Jambi, 21 Januari 2007